Rabu, 03 Agustus 2011

SAPERE AUDE, Kant dan Kepemimpinan Mandiri


SAPERE AUDE, Kant dan Kepemimpinan Mandiri




1. Pendahuluan


            Filsuf ini oleh sejarah pemikiran dan filsafat Barat dikenal sebagai ‘wakil’ puncak era pencerahan. Dengan mengusung semboyan sapere aude (beranilah menggunakan pemahamanmu sendiri) ia berhasil mendorong individu untuk kritis bahkan menggugat segala bentuk kemapanan yang menghambat kecepatan dan percepatan pertumbuhan peradaban manusia. Semboyannya sejajar dengan ajarannya yang juga sering disebut ‘doktrin independensi akal pikiran”.   Doktrin ini secara aplikatif cocok diterapkan pada komunitas apapun yang menginginkan demokrasi ditegakkan.

            Meski pencerahan telah banyak ditafsir dan dimaknai oleh banyak pihak, seperti: a) puncak gelombang perubahan besar revolusi [dalam bidang sains]; renaisans [seni dan filsafat] dan reformasi [agama]; b) masa ketika manusia Eropa –intelektual dan filsuf- berusaha mewujudkan sebuah sistem pengetahuan, etika, dan estetika yang sepenuhnya dibangun berdasarkan rasionalitas yang tercerahkan, namun Kant memiliki gagasan lain mengenainya, yaitu:

“keluarnya manusia dari ketidakmatangan yang diciptakannya sendiri. Sedangkan ketidakmatangan adalah ketidakmampuan sesorang menggunakan akal pikirannya tanpa bantuan orang lain. Ketidakmatangan semacam ini terjadi bukan karena kurangnya daya pikir tetapi karena kurangnya determinasi dan keberanian menggunakan pemahaman sendiri. (Kant, 1990, dikutip oleh Luthfi Assyaukani dalam KOMPAS 2 Maret 2004.).

Dengan demikian nampak bahwa hakikat individu yang cerah adalah individu yang berada dalam kondisi terbebaskan secara intelektual sekaligus kondisi kematangan berpikir dan kesanggupannya melakukan tanggung jawabnya sendiri.
            Secara linear, doktrin independensi akal pikiran ini cocok dengan kebutuhan menguatkan seorang pemimpin yang ingin lebih visioner. Sebab, pada situasinya masing-masing, seorang pemimpin akan memasuki ujian tertentu yang membutuhkan kemampuannya untuk mengatasinya. Padahal, jelas bagi kita bersama bahwa solusi atas problem tertentu akan mudah dirancang, dilaksanakan, dikendalikan dan dipertanggungjawabkan dengan baik jika solusi itu lahir dari diri pemimpin sendiri. Nah, dalam situasi seperti ini, ajaran Kant mendapatkan nilai lebihnya.

2. Kehidupannya


            Imannuel Kant lahir di Koenigsberg, Prusia Timur (kini masuk wilayah Rusia) pada 22 April 1724 dan meninggal pada 12 Februari 1804. Pada umur 16 tahun Ia belajar teologi di Universitas Koenigsberg yang bertolak belakang dengan minat utamanya: matematika dan fisika. Selama kuliah terutama sejak kematian ayahnya, 1746, (hingga usia 21 tahun) ia berkeliling untuk menjadi guru les pribadi hingga tahun 1755 saat ia kembali ke kotanya. Selanjutnya ia menjadi dosen di almamaternya selama 15 tahun, saat bertambahnya minatnya kepada dunia ilmu pengetahuan yang semakin membesar. Ia menekuni filsafat Leibniz dan Wolff, khususnya rasionalisme, serta Hume khususnya empirisme. Dua aliran filsafat yang kemudian ditolak dan dicarikan sintesanya dalam apa yang kemudian disebut sebagai kritisisme atau transendentalisme (idealisme transenden).  Pada masa pencerahan (aufklaerung) itu pemikiran kritis yang menjungkirbalikkan kemapanan ilmuwan dengan segenap pandangan kunonya itu dianggap berbahaya. Mendhelson menyebut pemikiran Kant sebagai ‘penghancur segalanya’.
            Empirisme (berasal dari kata empeiria=pengalaman nyata, Yunani) menegaskan bahwa pengalamanlah yang menjadi sumber utama pengetahuan, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah. Akal budi dianggap bukanlah sumber pengetahuan sebab ia justru harus bertugas mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman menjadi pengetahuan dalam jalan metode induktif. Sementara rasionalisme adalah aliran filsafat yang menegaskan bahwa sumber pengetahuan adalah akal budi. Pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang telah didapat akal budi itu. Metode rasionalisme adalah deduktif. Kant menolak kedua gagasan itu dan berpendapat bahwa pengetahuan adalah hasil kerja sama dua unsur yaitu pengalaman inderawi (empirik, aposteriori) dan akal budi (rasional, apriori). Aposteriori adalah pengetahuan yang diperoleh kemudian melalui pengalaman sementara apriori adalah pengetahuan yang didapat dari diri dan karena sudah ada dalam diri manusia. Bagi Kant, rasionalisme dan empirisme itu berat sebelah karena keduanya hanya memperhatikan satu unsur sumber ilmu pengetahuan. Pendapatnya itu baru sama sekali dan memang menjungkirbalikkan sejarah. Filsafat itu disebut filsafat kritis
            Filsafat kritis adalah filsafat yang memulai perjalanannya dari penyelidikan kemampuan rasio dan batas-batasnya. Sebelum ini, filsafat hanya dianggap sebagai dogmatisme akibat filsafat yang hanya percaya mentah-mentah pada rasio dan menafikan penyelidikan. Pembaharuan Kant juga disebut Revolusi Kopernikan atau Pemutarbalikan Kopernikan (Kopernikanische Wende). Jika dulu dalam hal kebenaran berlaku sebagai adaequatio intellectus ad rem (pencocokan intelek terhadap realitas) maka kini berubah menjadi adaequatio rei ad intellectum (pencocokan realitas terhadap intelek). Obyek mengarah kepada subyek untuk diproses menjadi pengetahuan bukan subyek!
            Bagi Kant, pengetahuan adalah sintesis hal-hal yang ditangkap indera dan elemen formal dalam diri manusia. Elemen formal ini biasa disebut kategori ruang dan waktu. Kant menggunakan istilah kategori sebagai konsep atau prinsip apriori murni yang memungkinkan manusia melakukan pengenalan. Kategori adalah suatu bangunan mutlak bagi pengetahuan manusia. Dalam Critique of Reason (1781), terdapat  tiga jenis pernyataan atau putusan, yaitu a) putusan analitis: predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subyek (misalnya, api itu panas); b) putusan sistesis aposteriori: predikat dihubungkan dengan subyek berdasarkan pengalaman inderawi (misalnya, baju itu indah), dan c) putusan sistesis apriori: sumber pengetahuan yang bersifat sistensis sekaligus apriori (misalnya, segala kejadian mempunyai sebabnya). Kant menunjukkan terdapat tiga tingkat dalam hierarki proses pengetahuan manusia, yaitu a) tingkat penyerapan inderawi, b) tingkat akal budi, dan c) tingkat budi/intelek.
            Melalui The Foundations of  the Metaphysics of Moral (1785) (juga dalam The Critique of Practical Reason (1787)), Kant memaparkan filsafat moral (etika)-nya. Kant membedakan perintah ke dalam dua hal yaitu perintah kategoris (tuntutan tak bersyarat) seperti jangan membunuh, jangan mencuri, jujurlah, dll; dan perintah hipotesis yang lebih relatif dan memungkinkan untuk ditawar. Ajaran Kant di bidang ini sering disebut sebagai Etika Deontologi (etika tentang tugas). Untuk categorical imperative (perintah kategoris) ucapan “act only according to that maxim by wich you can at the same time will that it should become a universal law” menjadi sangat terkenal.

3. Karya-karyanya


Sepanjang usianya yang 80 tahun itu, Kant dikenal sangat disiplin dalam waktu sehingga sering menjadi patokan waktu bagi warga Koenigsberg. Itulah sebabnya kehidupannyapun dapat dikelompokkan ke dalam dua periode besar yaitu periode Pra-Kritis (1747-1780) dan Periode Kritis (1781-1794).
Pada Periode Pra-Kritis, Kant menghasilkan karya Gedanken von der wahren Schatzung der lebendigen Krafte (Thoughts on the True Estimation of Living Forces, 1747). Pada tahun 1775 ia mempublikasikan disertasi yang ditulisnya pada 1770: De Igne (On Fire) dan menulis karya untuk meraih posisi privatdozent di Universitas Koenigsberg: Principiorum Primorum Cognitionis Metaphysiciae Nova Dilucidattio (A New Explanation of the First Principles of Methaphysical Knowledge). Selanjutnya ia juga mempublikasikan karya di bidang matematika dan fisika terinspirasi Wolff. Pada tahun 1770 ia memunculkan karyanya De Mundi Sensibilis atque Intelligibilis Formis et Principiis (On the Forms and Principles of the Sensible and Intelligible World) yang menunjukkan untuk pertama kalinya suatu tendensi untuk mengadopsi sistem filsafat yang mandiri. Selanjutnya selama sepuluh tahun dari 1770 hingga 1780 ia bertekun untuk mempersiapkan karya besarnya Critique of Pure Reason.
Karya pertamanya pada Periode Kritis adalah Kritik der reinen Vernunft (Critique of Pure Reason) yang terbit tahun 1781 dan disempurnakan lagi pada 1787. Pada tahun 1785 lahir karya Grundlegung zur Metaphysik der Sitten (Foundation for Metaphysics of Ethics). Selanjutnya lahirlah karya-karya kritisnya yang legendaris itu: Kritik der praktischen Vernunft (Critique of Practical Reason, 1790); Kritik der Urtheilskraft (Critique of Judgement, 1790); dan Religion innerhalb der grenzen der blossen Vernunft (Religion within the Limits of Mere Reason, 1793).
Dalam ketiga karya Kritisnya (Pure Reason, Practical Reason dan Faculty of Judgement) terdapat doktrin-doktrin mendasar bagi proses pembaharuan tatanan hidup ini. Di Pure Reason terdapat tiga doktrin utama yaitu sensation, judgement dan reasoning. Dalam Practical Reason, terdapat basis moral yang solid, hukum moral adalah yang utama, kebaikan yang terutama hanyalah Allah. Sementara itu dalam Faculty of Judgement kita dapat mengetahui bahwa penghakiman adalah bagian dari apresiasi estetis, doktrin alasan praktis, dan agama sebagai suatu sistem tingkah laku atau pengaturan.

4. Pengaruhnya                                 


            Pengaruh Kant jelas terletak pada pembalikan pikiran orang saat itu yang sangat percaya bahwa sumber pengetahuan berasal dari satu elemen tertentu saja, pengalaman atau akal budi. Melalui doktrin independensi akal pikiran a la Averros (Ibn Rushd) ia berhasil memberi inspirasi bagi individu yang gerah dengan otoritas gereja yang monopolistik dalam hal klaim kebenaran. Filsafatnya yang lahir dari proses berpikir kritis telah berpengaruh besar pada kaum intelektual hingga kini.
Kontribusinya di bidang metafisika, epistemologi, etika dan estetika telah menjadi acuan tunggal bagi filsuf generasi setelahnya. Seluruh karya Kant ditujukan untuk menjawab satu pertanyaan besar: What can we know? Jawabnya sungguh luar biasa dan menyebabkan kemajuan dunia ilmu dengan demikian pesatnya. Ia mempersatukan diskusi hangat mengenai empirisme dan rasionalisme ke dalam kritisisme yang sekaligus menjawab penolakannya pada metafisika dan teologi yang spekulatif.
            Kant juga menjelajahi dan memberikan kontribusinya di bidang etika, sejarah, dan seni hingga makna dan perjalanan bidang ilmu lainnya demikian pesat dan baru. Karena itu, melalui berbagai karyanya seharusnya kita bisa lebih jauh menyelami kontribusi konkrit dan orisinilnya bagi ilmu pengetahuan, misalnya: tanggapannya tentang empirisme dan rasionalisme, tanggapan dan jawabannya pada predecessors, fakta tentang revolusi kopernikan, gagasannya tentang idealisme transendentalnya, prinsip dasar analisisnya, dialektika Kant, gagasannya tentang alasan penyebab, etikanya, kebebasan dan tingkah laku, dualitas situasi manusia, kehendak baik, etika deontologi (tugas), dan kritiknya atas utilitarianisme. Kalau pencerahan diinspirasi semboyan “Beranilah Berfikir Sendiri” maka kini harus kita lengkapi dengan Du kannst, denn du sollst (Kita wajib, karena kita bisa (melakukannya)!

5. Kontribusi Pemikiran Kant bagi Kepemimpinan

            Kant merupakan seorang penganjur kebebasan, keberanian dan kemandirian berpikir yang sangat diperlukan dan cocok dengan kecenderungan kepemimpinan masa kini: demokratisasi dan penghargaan HAM. Kepemimpinan semacam itu menuntut pemimpin yang dinamis, visioner, berpihak pada realitas kemanusiaan konkret ‘bawahan’-nya, dan realistis. Referensi bagi pintu masuk menuju kebebasan, keberanian dan kemandirian bukan berasal dari  ‘ajaran kritis’ Kant, melainkan ‘doktrin independensi akal pikiran’ yang diklaim sebagai inti dari pencerahan.

a. Kepemimpinan

            Ada berbagai pengertian mengenai kepemimpinan yang bisa kita baca maupun yang kita buat sendiri. Tetapi berdasarkan pemikir-pemikir ‘klasik’ seperti Weber, Blanchard, Humbleton, Zigarmi, Forsyth, Sujak, Dewantara, Room & Jago, Fiedler & Chemers, Bass & Stogdill’s, Mar’at, Koonts & O’Doneel, Tannenbaum, dll., bisa kita temukan rumusan: Kepemimpinan ialah perihal menggunakan pengaruh/kekuasaan terhadap orang lain dengan cara-cara tertentu untuk mewujudkan suatu tujuan yang telah ditetapkan bersama. Jika diurai, akan kita dapat unsur-unsur:

1.      Adanya hubungan dan interaksi antara pemimpin dan yang dipimpin
2.      Adanya pengaruh atau kekuasaan yang berbeda
3.      Adanya kemampuan atau keterampilan menggunakan pengaruh atau kekuasaan untuk mempengaruhi yang dipimpin
4.      Adanya tujuan yang hendak dicapai
5.      Adanya aturan main, dan
6.      Adanya aktivitas positif untuk mencapai tujuan

            Legitimasi bagi seseorang untuk menjadi pemimpin merupakan sumber kekuasaan atau pengaruhnya. Oleh karena itu soal legitimasi ini menjadi penyebab utama bagi kelangsungan proses kepemimpinan. Sumber kekuasaan yang melegitimasi seseorang menjadi pemimpin berasal dari: 1) jabatan/kedudukan; 2) keahlian; 3) pemaksaan; 4) ekonomi dan 5) kualitas pribadi. Seorang pemimpin bisa saja mendapatkan lebih dari satu sumber kekuasaannya. Dengan kekuasaan yang ada padanyalah seorang pemimpin menjalankan fungsi kepemimpinannya. Menurut Winter, fungsi utama seorang pemimpin adalah 1) mengambil prakasa atau inisiatif; 2) menyusun konsep; menetapkan tujuan; dan merencanakan kegiatan dan melakukan pengawasan.
            Soal efektifitas, pada akhirnya tergantung kepada seberapa berfungsinya elemen-elemen kepemimpinan yang seharusnya dikelola oleh seorang pemimpin. Begitu juga elemen-elemen “jalan” kepemimpinan yang efektif juga harus dihitung sebagai variabel yang signifikan bagi terwujudnya suatu tujuan baik yang pendek, sedang, jauh, maupun ultima.

b. SAPERE AUDE dan Kepemimpinan Mandiri

Beranilah menggunakan pemahaman sendiri, demikian makna seruan tersebut. Sebuah super imperatif yang pertama-tama tidak ditujukan kepada alamat yang spesifik. Namun, ungkapan tersebut lahir dari sebuah zaman di mana otoritas gereja –bersama-sama- melebihi negara dan –apa lagi- rakyat jelata. Saat itu era pencerahan tengah berlangsung. Gelombang besar revolusi, renaisans dan reformasi terjadi. Sebuah gerakan untuk menguasai dunia melalui akal budi. Era yang berlangsung pada abad 17 dan 18 ini membuka ruang seluas mungkin bagi kebebasan intelektual sehingga kemisteriusan ditemukan jawabnya demi tujuan kebahagiaan. Di Inggris dimotori oleh tokoh empirisme Locke dan Hume. Di Perancis, Belanda dan Jerman, Descartes, Spinoza, Leibniz, Wolff, Reimarus, Lessing tentu saja Kant.  Rasionalisme a la Kant berakar dari sapere aude. Sebuah ajaran filsafat yang diyakini bersumber dari Ibn Rushd (Averroes). Gagasan dasarnya adalah kemandirian sebagai akibat kesadaran akan kemampuan diri sendiri dan keyakinan baru bahwa kebenaran tidak berasal dari satu sumber. Masih ada dan cukup tersedia kebenaran yang lain.
            Bagi Kant, sebagaimana dikemukakan Luthfi Assaukanie, pencerahan

“ … bukan semata-mata kondisi intelektual di mana seseorang merasa terbebaskan (untuk, pen)  berpikir dan bertindak, tetapi yang terpenting adalah pencerahan itu berarti kematangan berpikir dan sanggup melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain”

Untuk kepentingan praktis di dunia kepemimpinan, terdapat beberapa hal yang penitng, yaitu a) kondisi intelektual di mana seseorang merasa terbebaskan dalam berpikir dan bertindak, b) kematangan berpikir, dan b) kemandirian (termasuk di dalamnya segi-segi yang mengikutinya: keterampilan mengambil keputusan, mempertahankan keputusannya, dan mempertanggungjawabkan.
Meski saat ini hal itu terasa umum dan sederhana, terutama dengan pendekatan manajemen, namun pada masanya ajaran itu ditemukan secara susah payah, dianjurkan secara sungguh-sungguh, dan menghasilkan perubahan yang signifikan: Revolusi Perancis!
Bagi pemimpin masa kini, yang ingin mandiri dalam menjalankan keterampilan kepemimpinannya, anjuran ajaran ini masih relevan. Terlebih mengingat saat ini rupa-rupa tantangan besar, esensial dan menyangkut masa depan organisasi dan anggota begitu gencar mengepung kepemimpinan seseorang. Klik dalam organisasi gereja karena seasal sekolah teologianya, perubahan visi dan misi pekabaran Injil pada umumnya (yang kini lebih berpamrih) seperti pelayanan sekolah-penerbitan-kesehatan Kristen yang begitu mahalnya, gaya hidup mewah para pelayan, dan deraan eksternal dari negara dan kelompok-kelompok fundamental agama. Jika seorang pemimpin tidak mampu sapere aude, ia akan terhisap arus zaman yang cenderung semakin tidak lagi menerapkan ajaran Yesus Kristus ini. Berpikir kritis, mandiri, dan mendalam untuk mendapatkan pemecahan merupakan jalan yang ditawarkan Kant. Dan untuk itu, sewajarnya pemimpin yang ingin lebih mandiri, berterima kasih padanya!

Daftar Pustaka

1.      Marbun, B.S., S.H, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996
2.      Van der Weij, P.A., Dr., Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, diindonesiakan oleh K. Bertens, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta, 1988
3.      Collinson, Diane, Lima Puluh Filosof Dunia yang Menggerakkan, Muria Kencana, Jakarta 2001, h.126.
4.      ……….., Ensiklopedia Nasional Indonesia, Jilid 13, PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1990.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar