Rabu, 03 Agustus 2011

Makna Kegelisahan Pemimpin


Makna Kegelisahan Pemimpin

Oleh Mianto Nugroho Agung, SPd., SSi (Theol)., MTh.

            Seorang Probowinoto yang gelisah menentukan pilihan untuk menempuh perjuangan kooperatif atau non kooperatif menyebabkan bersatunya 37 gereja di Jakarta sebagai ekspresi pilihan yang tepat umat Kristen bagi kelahiran republik ini. Seorang TB. Simatupang yang gelisah terhadap proses pembangunan yang lambat menyebabkan gagasan-gagasan cemerlangnya mengarus deras bak air yang menuruni tebing curam. Seorang Martinus Abednego yang gelisah harus berbuat sebanyak mungkin selama hari masih siang menyebabkan gagasan ekumenisme dan harmoni relasi antargereja maupun gereja dengan umat lain melesat cepat. Seorang Leimena, Gunung Mulia, Latuihamalo, Nababan yang gelisah tentu tidak sekadar gelisah. Kegelisahan mereka seringkali menjadi amunisi bagi proses produktif selanjutnya. Jelas dalam hal ini potensi kepemimpinan dengan kualitas excelent sangat menentukan. Bandingkan dengan kegelisahan dua orang hamba dengan talentanya yang membuat mereka kreatif sehingga menghasilkan sejumlah talenta yang sama. Kegelisahan seorang pemimpin jelas merupakan mutiara bagi gagasan brilian.
            Mengapa hanya orang-orang tertentu yang berhasil terbangkitkan kegelisahan positifnya oleh situasi, kondisi dan zaman yang sama sementara yang lain tidak? Mengapa kegelisahan positif itu mampu menghasilkan pohon gagasan yang bernas sementara yang lain layu sebelum berkembang? Mengapa pribadi dengan kualitas Pak Probo, Pak Sim, Om Jo dan yang lain itu semakin langka saja? Jawaban serbasederhana bisa kita telusuri melalui literatur, kisah lisan dari ‘orang-orang tua’, atau praksis elite. Pastilah jawabannya akan lebih banyak ke soal  kepemimpinan. Ya, kepemimpinan! Suatu fenomena sosial hanya akan membangkitkan kegelisahan pribadi jika pribadi itu memiliki potensi kepemimpinan. Kegelisahan pribadi hanya akan menghasilkan gagasan brilian dan bermanfaat bagi orang banyak jika magma kepemimpinan yang ada dalam dadanya mengaliri kebun subur dengan benih kebaikan itu. Kelak niscaya pohon yang tumbuh akan berbuah sangat bernas.
            Soal langka, tidak ada yang bisa meragukan. Secara kasat mata –jumlah dan mutu- memang tidak terlalu banyak pemimpin seperti pemimpin-pemimpin terdahulu tersebut. Dari lelehan keringat perjuangan mereka, kekristenan telah berhasil menempuh jalan yang benar dalam arak-arakan perjuangan mewujudkan dan mengisi kemerdekaan. Melalui bakti mereka, Indonesia telah terhindar dari kejatuhannya ke dalam bentuk negara yang sektarian. Perjalanan bergereja selanjutnya juga berada dalam arah yang jelas: oikoumensime serbaluas. Sayang, pada era selanjutnya tidak ada sosok sekaliber mereka sehingga ketika puting beliung zaman menghantami bangsa ini,  membusuklah bagian-bagian tubuh pertiwi (Poso, Ambon, Aceh, Sampit, dll.) maupun pilar-pilar penopangnya (integrasi, demokrasi, negara kesatuan, kebhinekaan dalam keikaan, dll.). Tidak ada lagi pemimpin besar yang mampu memaknai apalagi berkata-kata dalam bahasa kerakyatan khas Indonesia yang mampu memberi kesejukan kepada bangsa ini. Kalau toh ada, bahasa mereka tidak lagi santun sehingga lebih banyak melukai hati rakyat.
            Di lingkungan gereja sendiri, para pemimpin kita sibuk mengamankan kepentingan diri sendiri dengan mempertaruhkan keesaan yang sedang tunas, kata seorang Kristen awam (Jkt, 28/7) demi menyaksikan kenyataan kegerejaan sesungguhnya. Pemimpin gereja kita sering dengan gampang sakit hati, dendam dan membalasnya dengan memisahkan diri dari denominasinya. Tentu, tanpa memberikan pertanggungjawaban seperlunya kepada umat. Ketika jemaat membutuhkan jawaban atas rupa-rupa fenomena nongerejawi, tidak satupun pemimpin tersebut mau dan mampu menjawabnya. Sungguh sebuah reaksi yang emosional, jauh dari semangat dan jiwa kepemimpinan yang luhur! Padahal, kegelisahan umat adalah kegelisahan awam yang membutuhkan jawab dari pemimpinnya yang berhasil mengolah realitas sosial menjadi kegelisahan yang positif hingga membuahkan sesuatu yang produktif. Kalau pemimpin mereka demikian buruknya, kalau pemimpin mereka hanya sibuk dengan tahta dan hartanya, akan sampaikah umat menuju ‘negeri yang dijanjikan’? Atau, lebih parah lagi, siapa yang disebut pemipin itu, sekarang ini? Alhasil, akankah ada pemimpin harapan itu? Ya, akan ada jika kita mau bersusah payah merintisnya! (mna)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar