Rabu, 03 Agustus 2011

Piere Teilhard de Chardin: Mati Sunyi Berkalang Kontroversi

Piere Teilhard de Chardin: Mati Sunyi Berkalang Kontroversi

Oleh: Mianto Nugroho Agung, S.Pd., S.Si. (Theol)., M.Th.

“He has forced theologians to view their ideas in the new perspective of evolution and scientist to see the spiritual implications of their knowledge. He has both clarified and unified our vision of reality”

Sir Julian Huxley


“An indispensable man for our times”

Pope Paul VII

(Wildiers, N.M., 1968)

          Dalam khasanah ilmu pengetahuan, Piere Teilhard de Chardin, atau Teilhard (Teilhard merupakan nama marga, bukan de Chardin[1]) dikenal sebagai Teolog, Antropolog, Geolog dan Palaentolog. Jadi, ia bukan seorang filsuf. Tetapi, mengingat ajarannya yang mendalam mengenai tujuan utama sebuah evolusi: hubungan cinta (manusia: pen) dengan Tuhan yang bersifat personal, tidak dapat diputus dan berlangsung abadi[2], maka dunia filsafat ‘berkenan’ menerimanya sebagai filsuf. Beberapa gagasannya menjadi sangat kontroversial baik ketika didekati dengan menggunakan pintu masuk ilmiah maupun keagamaan[3]. Ia merupakan  guru dan peneliti yang banyak memberikan sumbangan pemikiran di bidangnya bukan karena analisa terhadap data sekunder melainkan melalui penelitian lapang di seantero belahan bumi.
Mereka yang menolak ajarannya mengejeknya dengan menyebutnya sebagai nabi ‘agama’ evolusi akibat pernyataanya yang keras mengenai tunduknya segala sesuatu pada evolusi (yang ia ajarkan). Menurut Sethiadi, ia bahkan menuntut agar prinsip evolusi diterima sebagai kebenaran mutlak. Kalau ada yang salah dan karena itu boleh dikoreksi, katanya,  adalah mekanisme evolusi[4]. Dalam Fenomenon of Man (1961, h.219) sebagaimana dikutip Rev. Philip J. Cunningham, CSP.,  ia menegaskan: “is evolution a theory, a system or a hypothesis? It is much more: it is a general condition to wich all theories, all hypotheses, as system must bow and wich they must satisfy henceforth if they are to be thinkable and true. Evolution is a light illuminating all facts, a curve that all lines must follow.”. Bahkan melalui proses yang unik Teilhard sampai pada titik keyakinan bahwa teori evolusi merupakan pusat dari segala hal sehingga Alkitab pun harus juga tunduk kepadanya. Ditambah dengan pemikirannya yang kontroversial mengenai dosa asal, pada masa keprofesorannya di Institute Catholique Paris, maka ia pun dikucilkan oleh gereja.
Namun, di sisi seberang, pada 23 Oktober 1986, Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa ‘teori evolusi lebih dari sekadar teori’ yang merupakan bentuk pengampunan dan toleransi (kekalahan)[5] gereja tidak saja pada para pemikir teori evolusi (Darwin, Gould, Hawking, dll.) -termasuk Teilhard- melainkan juga pada ilmu pengetahuan. Sebuah kompromi yang belakangan juga dilakukan kalangan Protestan[6]. Bagi yang menolak, gereja kalah dalam hal terdegradasikannya Alkitab hingga ke bawah Teori Evolusi yang ekuivalen dengan terdegradasikannya Yesus ke bawah Teilhard. Sebab, jelas-jelas Teilhard telah merendahkan Alkitab dengan gagasannya ketika menyatakan “Ayat-ayat Alkitab yang tidak bertentangan dengan teori evolusi boleh ditafsirkan secara harafiah kalau mau, tetapi yang bertentangan dengan teori evolusi “hanya” dapat diterima secara simbolis/allegoris”[7]. Bahkan ia membuat tafsir atas alkitab di atas landasan itu dan menyebutnya dengan “tafsiran baru”.
          Pada Gereja Katolik, sesuai dengan pengumuman yang dikeluarkan 23 Oktober 1996, ‘kompromi’ dilakukan sebatas non ex-Cathedra, artinya orang Katolik boleh menerimanya kalau setuju dan boleh menolaknya kalau tidak setuju. Ex-Cathedra dikeluarkan khusus untuk hal-hal agamawi dan etika. Jadi menurut Gereja Katolik, teori Evolusi Teilhard tetap masih dianggap sebagai bidang ilmu pengetahuan. Di luar kalangan Gereja Katolik tanggapan telah diberikan –misalnya- oleh Gereja-gereja Kharismatis dengan menolaknya.
          Salah seorang pengagumnya, Dr. P.A. van der Weij (1988, h168-173) menguraikan barang sekilas ‘logika’ teori evolusi Teilhard, sebagai berikut:
a.     Teilhard yakin pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan tidak perlu terjadi. Sebaliknya, dengan bertolak dari teori evolusi modern ia melihat kemungkinan untuk meneruskan beberapa garis pemikiran evolusionistis ke arah filsafat dan teologi, sehingga dihasilkan suatu sintesa besar yang mencakup semua bidang itu. Teilhard tengah berusaha mengatasi pertentangan antara materialisme ekstrem dan spiritualisme ekstrem yang telah lama terjadi.
b.     Dalam karyanya Comment je crois (Bagaimana saya percaya) ia merumuskan ‘kepercayaannya’: 1) Saya percaya bahwa dunia merupakan suatu evolusi; 2) bahwa evolusi adalah jalan menuju roh (noosphere); 3) bahwa roh (atau kesadaran) mendapat kepenuhannya dalam persona; dan 4) bahwa persona yang tertinggi adalah Kristus yang universal.[8]
c.      Melalui jalan kompleksifikasi serta intensifikasi, maka kehidupan timbul dari materi[9]. Kehidupan itu berkembang lagi menjadi kehidupan manusiawi. Kelak manusia ‘mutan’ materi itu bisa berkembang secara tidak biologis tetapi dengan memperluas kesadaran psikis dan sosial, hingga ke arah suatu masyarakat bangsa-bangsa. Evolusi ini akan menghasilkan suatu umat manusia yang baru dan ditegakkannya moral baru: Apa yang sungguh-sungguh memajukan perkembangan sejati manusia serta dunia adalah baik. Menolak untuk melibatkan diri, kelambanan dan sikap tak acuh merupakan kesalahan paling serius. Teilhard berharap agar humanisme universal ini akan bersifat religius dan percaya akan Tuhan.
d.     Dari evolusi yang radikal dan total itu ia justru menemukan suatu petunjuk kepada Allah sebagai permulaan dan akhir. Manusia merupakan mahkota evolusi, bahkan dalam taraf evolusi psiko-sosial, manusia turut mencipta bersama Tuhan demi membangun kerajaan Allah dan manusia. Tetapi, Teilhard menolak humanisme mengingat ancaman berupa pendewaan manusia. Ia menduga sesudah berkonsentrasi pada diri sendiri, manusia akan berevolusi ke ek-sentrasi menuju titik omega di mana Kristus datang kembali ke dunia. Pada saat itulah “Tuhan akan menjadi semua dalam semua”[10]. Visi teori Teilhard adalah ‘manusia yang diperuntukkan bagi suatu ketinggian dan semarak yang amat mulia’. ‘Karena itu misinya adalah perjuangan melawan kelaparan, ketidaktahuan, penyakit, ketidakbebasan dan peperangan’.
e.     Spiritualitas baru dari gagasan evolusi itu adalah kegembiraan lebih besar dalam melaksanakan tugas kreatifnya di bumi yang mengakibatkan 1) daya pikir menjadi lebih luas, 2) pelayanan satu sama lain, 3) kesanggupan untuk mencinta, dan 4) persamaan hukum.
f.       Pada akhirnya, di titik omega, keadaan statis semu yang sebenarnya dinamis atau paling tidak lebih dinamis daripada keadaan yang ditawarkan Marx, Hegel dan Nietzsche. Dinamika dalam arti penghayatan paling intensif, cinta kasih yang mantap dengan barangkali peluang lagi untuk bertumbuh dalam pengenalan dan cinta kasih?
          Inti Teori Evolusi Teilhard, singkatnya, adalah: “Manusia muncul[11] dan berkembang melalui sejarah yang amat panjang. Manusia berasal dari satu titik tertentu, titik Alpha, kemudian berkembang memencar ke seluruh muka bumi yang kelak menyatu kembali. Alam semesta beserta seluruh isinya bergerak teratur bagaikan ditarik suatu kekuatan dan menuju tujuan tertentu. Tujuan itu menurut Teilhard, adalah Titik Omega”[12]. Manusia yang demikian sedang menjalani perjalanan sebagai musafir yang berangkat dari status Bio-sphere (lingkungan hidup) ke Noo-sphere (lingkungan pikiran).
          Sementara itu, berikut adalah posisi diri Teilhard di hadapan ajaran terdahulu yang di beberapa sisi ingin dikritisinya bahkan diperbaharuinya melalui gerbang utama: evolusi.
a.     Posisi Kristus dalam evolusi penciptaan (Teori Kreasi) Teilhard dinyatakan dengan ungkapan “ … the order of creation is inconceivable without him.”[13] Meski Teilhard juga menegaskan  bahwa “He believes that this new world view offers a better chance of understanding Christ’s place and function than was the case with the earlier one.[14]. Setelah menunjukkan hakekat Yesus historis dan Yesus universal, ia menegaskan bahwa “without a historic Christ there could be no mystycal body of Christ, no total Christ.”[15].
b.     Manusia (man) merupakan puncak atau klimaks dan mahkota dari evolusi. Namun manusia dan kemanusiaan bukan akhir –juga awal- segalanya. Manusia merupakan ujud atau pencapaian tertinggi materi yang berkemungkinan melesat ke tataran lebih tinggi akibat evolusi[16]. Sementara umat manusia (mankind) hadir untuk membuka diri secara bebas dan berkonsentrasi sepenuhnya pada yang manusiawi agar persatuan umat manusia penuh cinta kasih dalam humanisme yang meliputi semua orang.
c.      Tuhan, merupakan pencipta materi dan penyebab dan pendorong utama proses evolusi. Tuhanlah yang menjadikan segala-galanya[17] dan proses penciptaan itu terus berlangsung. Bahkan, setelah materi terevolusi menjadi manusia, Tuhan menjadikan manusia sebagai mitra proses penciptaan yang terarah pada titik omega yang notabene adalah Diri Tuhan sendiri.
d.     Materi, adalah salah satu cipaan Tuhan atau setidaknya bagian yang diadakan Tuhan yang pada mulanya dalam status anorganik tetapi yang kemudian menjadi organik akibat proses evolusi sehingga memungkinkannya mencapai titik menjadi manusia. Materi kadang juga dibahas dalam kerangka superorganisasi yang karena itu layak mutasi ke yang organik.
e.     Dunia, merupakan “ … presents itself to the eye of the beholder as a four-dimensional continuum, extended in space and time, an oganically cohesive and evolving whole which is most completely self-manifested in man and so is best to be understood in that context and perspective.”[18]
f.       Masa depan, bagi Teilhard nampak merupakan setting yang akan diisi manusia yang telah melewati masa humanisnya dan kini sedang mereguk titik omega di mana keadaan yang seakan statis tetapi sesungguhnya dinamis dan merupakan peruntukan serta tujuannya sendiri.
Kembali ke mereka yang menolaknya, dikemukakan bahwa meski di tahap-tahap selanjutnya gagasan moral evolusi Teilhard nampak indah dan meneguhkan kearifan uiversal namun oleh karena pintu masuk teologis kehadiran manusia didistorsi hingga hanya tersisa sebagai sebuah materi tertentu, dan karena itu mendistorsi eksistensi Allah Sang Maha Pencipta, maka tahap selanjutnya –secara logis maupun dialektis- Teori Evolusinya gugur. Pada belakang hari, setelah hadirnya evolusionis biologis, Stephen Jay Gould dengan teori Punctual Equilibrium-nya, dan evolusionis astronomis, Stephen Hawking dengan  A Brief History of Time-nya, semakin nampak betapa gagasan Teilhard sudah seharusnya gugur. Para penolak dari kalangan karismatik lebih-lebih, menolak tidak saja teori evolusi, tetapi juga teori kreasi dan teori Steady State dan hanya mau mempercayai Allah sebagi Pencipta semesta sebagaimana dikemukakan oleh Kitab Kejadian. Bagaimana sebenarnya yang dimaksudkan meteri oleh Teilhard? Apakah materi itu adalah debu sebagaimana dimaksudkan oleh Kejadian 2:7? Belum ada tulisan yang membantu atau mengarah ke hal itu.
            D. Romano Resek, OSB menuliskan biografi singkat serta beberapa karyanya, termasuk karya-karya utamanya. Paparan berikut merupakan olahan dari tulisan Resek, sebagai acuan utama, dan beberapa informasi dari sumber lain.
Orang tua Teilhard de Chardin, Emmanuel Teilhard  dari Chardin dan Berthe-Adele dari Hornoy Dompiere melahirkan Piere Teilhard de Chardin di kastil Sarcenat dekat Orcines, di Pegunungan Clermot-Ferrand, tujuh kilometer sebelah barat Auvergne, Perancis pada 1881. Ia adalah anak ke empat dari delapan bersaudara. Karena ayahnya yang petani tuan tanah itu juga pengumpul batu-batuan maka Teilhard muda juga terpupuk minatnya pada batu-batuan itu.
          Pendidikan dasar dan menengahnya dilalui di College Notre-Dame di Mongre (Villefrance-sur-Saone). Pada 1897 meraih Sarjana Filsafat dan 1898, Sarjana Matematika. Pada 1899 di usia 18 tahun ia bergabung dengan Serikat Yesuit di Profinsi Aix-en. Ia belajar filsafat dan teologi di Jersey, sebuah pulau kecil di antara Perancis dan Inggris. Pada 1904 melakukan perjalanan selama 3 tahun ke Mesir dan mempelajari Teologi lebih jauh di Hastings, Inggris. Pada 24 Agustus 1911 ditahbiskan sebagai imam dan setahun kemudian, 1912, bekerja sambil belajar di Natural Museum of Natural History, Paris, Perancis. Pada 1913 melakukan perjalanan keilmuannya bersama Breuil, Obermeier dan Boussac. Tahun 1914 memulai belajar teologi untuk tahun ketiganya di Centerbury, Inggris. Tahun berikutnaya hingga 1918 masuk wajib militer sebagai perawat pria di Seksi 13 dan menjadi petugas palang merah. Selama tahun-tahun itu lahirlah karya-karya seperti War Writing (1916), The Cosmic Live (1916), Three Stories as Benson (1916), The Mystic Ambience (1917), The Great Monade, My Universe, The Priest, The Faith that Operates (1918), serta mulai mengerjakan bakal disertasinya The Mammals of the French Inferior Eocen. Menuju lahirnya disertasi itu, dibuatnya juga Notes to serve the Evangelization of the new times dan The Spiritual Potency of the Matter (1919). Pada tahun ini dia juga mendapatkan dua sertifikat masing-masing untuk bidang Geologi dan Botani di Paris. Tahun 1920, ia mendapat Sertifikat bidan Zoologi dan menghasilkan karya Notes on Progres. Tahun 1921, Science and Christ. Meraih Doktor ilmu alam di Universitas Paris pada 1922.
          Pada 1923 ia melakukan misi saintis ke Cina melalui Suez, Seilon, Sumatra, Hongkong dan Shanghai. Ia juga bertemu dengan Pastor Licent dalam perjalan pertama di Tiensin, selanjutnya lahirlah The Mass on The World. Tahun 1924, ia mengunjungi Shiensien dan dan kembali ke Paris ia menuju ke Catholic Institute. Tahun 1925 ia menulis The Divine Ambience. Tahun 1927 kembali melakukan perjalanan dengan Pastor Licent ke Dalai-Nor hingga kembali ke Paris untuk melakukan studi pertama bagi The Human Phenomenon. Tahun 1928 ia ke Somalia dan Abissinia. Tahun 1929 ia cukup sibuk dengan perjalanan ke Cina melalui Djibouti dan Seilon,  Mansuria dan Chou Kou Tien. Selain menghasilkan The Human Sense ia memulai upaya pelacakan fosil Sinantropos.
          Pada 1930 di Tientsin dilakukannya studi kedua untuk The Human Phenomenon sembari melakukan perjalanan ke Shensi dan Pekim untuk fosil Sinantropos Pekinensis yang terkenal itu. Ia sempat mengunjungi Mongolia sebelum kembali ke Paris. Pada 1930 ia mengunjungi New York untuk Citroen Mission di Chicago. Selanjutnya ia ke Cina melalui San Fransisko, Hawai dan Jepang. Dari Peking, ia ke Liangchow hingga lahirnya The Spirit of the Earth. Tahun 1932 ayahnya meninggal, ia masih juga ke Cina sebelum kembali ke Paris selama 4 bulan disusul perjalanan ke Inggris. Di tahun 1933 dikunjunginya kembali Cina selanjutnya juga AS (Washington, New York, California, Nevada, dan Grand Canyon), sebelum kembali lagi ke Cina hingga awal 1935. Pada 1935, ia pulang sejenak ke Paris untuk kemudian ke Kasmir, India dan Bandung, Jawa. Tahun-tahun ini lahirlah The Meaning of the Suffering, How I Believe dan The Discovery of the Past. Dari Bandung via Hongkong dan Shanghai ia kembali ke Peking. Ibunya meninggal tahun ini. Ia menghasilkan  Design of a Personal Universe dan We Can Save the Mankind. Tahun 1937-1939 ia masih mondar-mandir Perancis, Cina, AS, Burma, Jawa, dan Inggris. Karya-karya The Spiritual Phenomenon, The Human Energy, Buku The Human Phenomenon, Social Hereditariability and Education, The Mystic of the Science dan The Hour of Time, lahir.
          Tahun 1940-1950, ia mendirikan Institut Geobiologi bersama Pastor Piere Leroy di Peking dan menuntaskan The Human Phenomenon juga The Granitization of China serta The Expected Word (1940). Lahir pula The Primitive Man in China dan Reflection on Progres (1941). Juga, The Evoluting Christ dan The Man’s Place in the Universe (1942). Dihasilkannya pula Super-Mankind, Super-Christ, Super-Charity dan Reflections about Happiness serta bersama Pastor Leroy dibuatnya Majalah Geobiologi. Pada 1944 bekerjasama dengan WC. Pei diasilkan The Neolitis of Cina, juga The Centrology, Life and Planets, Action and Activation (1945), Reflection on the spiritual resonance of the atomic bomb, Design of a Dialetics of the Spirit (1946), Spiritual Market of the Extreme Orient, Colloquy of Paleontology and Genetics, Human Jump of the Evolution (1947), How I See, The Modern Neo-Humanism, The Divine Ambience (1948), The Human Zoological Group. A New Subject of Galileu, The Man’s Place in Nature, The Vision of the Past, The Spiritual Energy of the Suffering dan Reflections on the Ultra-Human (1949), The Christian Phenomenon, The Heart of the Matter dan The Taste of Living (1950).
          Pada tahun 1951 hingga akhir hayatnya 1955, ia bahkan melakukan perjalanan hingga ke Afrika Selatan, Brasil, AS, Trinidad, Ekuador sebelum meninggalnya di Minggu Paskah 10 Mei 1955. Selama masa lima tahun itu, ia menghasilkan From the Cosmos to Cosmogenesis, The Biology, completely and thoroughly, The Convergence of the Universe, A Larger Problem for Anthropology (1951), A Refleccao da Energia, What the World waits from the Church of God (1953), On the Human Compression, Looking at a cyclotron, The Energy of the Evolution, The Pultiplicity of the Inhabited Worlds, The Stuff of the Universe, The God of Evolution, The Activation of Human Energy (1953), The Singularities of the Human Species, Africa and the Human Origin (1954). Pada tahun ini, setahun sebelum meninggal, Teilhard melakukan kunjungan singkat ke rumah lamanya di Sarcenat. Dan pada 1955 ia menghasilkan karya The Barrier of Death, The Christic, dan Researche, Work, Adoration.
          Dari karya sebanyak itu, karya Teilhard yang menonjol dan menjadi bahan diskusi secara luas adalah The Human Fenomenon (1955), Letters from a Traveller (1956), The Divine Mileu (1957) dan The Future of Man (1959). Karya-karyanya umumnya diterbitkan sesudah ia meninggal, sehingga kekayaan intelektualnya tidak sempat tergali lebih mendalam. Begitu juga para pemuja dan pembencinya hanya berdiskusi dan menafsir serta mereka-reka apa maksud sesungguhnya beberapa kata kunci yang muncul di karya-karyanya.
          Namun, untuk mengakhiri tulisan singkat ini, pengakuan jujur pemujanya, van der Weij berikut patut kita simak untuk bahan refleksi dan membangun kearifan diri sendiri baik untuk kepentingan berwacana, beriman maupun berpraksis. Van der Weij menyatakan “Memang benar, dipandang dari sudut ilmiah dan keagamaan, karya Teilhard itu masih mengandung banyak sekali tanda tanya yang belum terjawab. Tapi apakah hal itu bisa mengherankan kita, melihat usahanya  yang begitu berani dan di luar jalur-jalur biasa? Dalam pada itu, ia sendiri berharap orang lain (seharusnya kita, pen) akan mengoreksi serta melengkapinya”[19]. Begitu juga catatan penolaknya, “Waktu Allah menciptakan alam semesta ini, Anda dan saya belum ada. Tetapi Darwin, Gould, Hawking, Teilhard dan lain-lain juga belum ada. Waktu itu belum ada manusia, yang ada hanyalah Allah, yang menciptakan alam semesta adalah Allah. Yang tahu setepatnya hanya Allah. Dan melalui Alkitab Allah telah menerangkan umat manusia bagaimana dan bilamana Allah menciptakan alam semesta termasuk umat manusia berdasarkan Alkitab. Jangan berdasarkan teori-teori buatan manusia baik Teori Kreasi, Teori Evolusi, maupun Teori Steady State. Mari kita kembali ke Alkitab. Kembali ke Kitab Kejadian”[20].

***

Piere Teilhard de Chardin telah meninggal dengan mewariskan tidak saja sekian banyak karya tulis tetapi juga seamgat dan teladan seorang guru dan peneliti yang tidak pelit membagikan karyanya itu kepada generasi kemudian. Sebagaimana sejarah mengajarkan kepada umat manusia, ‘nabi’ selalu ditolak di tanah mukimnya, demikian juga dengan Teilhard. Ia dihukum dengan cara yang tidak manusiawi untuk gagasan yang diperuntukkannya bagi peningkatan mutu hidup lahir dan batin manusia akibat kesalahannya menafikan Allah sebagai pencipta manusia. “Hukuman” lain, tulisan-tulisan besarnya baru diterbitkan setelah ia meninggal. Bahkan setelah ia tidak mampu memberikan “pembelaan” akademis seperti itu, generasi berikutnya malah ada yang mengharamkan buku-bukunya. Jadi, ia dikucilkan sejak masa akhir hidupnya hingga ketika ia telah meninggal. Ia telah mati sunyi di tanah pengasingannya dengan setumpuk kontroversi yang di taburkan ke atas makamnya. Resiko seorang ilmuwan! Kalau benar pemikiran Teilhard demikian buruk, setidaknya kita bisa meneladani kesetiaannya sebagai ilmuwan. Atau, kita memang telah diberi kuasa untuk menghakimi sesama kita? Kalau begitu, baiklah, barang siapa di antara kita yang tidak berdosa, melempar batu hukuman yang pertama untuk Teilhard! (MN. Agung)

Daftar Pustaka


1.       Van der Weij, PA., Dr., Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia, Gramedia, Jakarta, 1988
2.     Sethiadi, Stanley I., Ir., Alkitab dan Ilmu Pengetahuan, Sahabatsurgawi.net.
3.     Wildiers, N.W., An Introduction Theilhard de Chardin, Wiliam Collins & Co Ltd, London, and Harper & Row, New York, 1968
4.     -----------, ENI no 16, TA-TZ, Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1991.,
5.     Bakker, Anton, Dr., Metode-Metode Filsafat,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.



[1] Wildiers, N.W., An Introduction Theilhard de Chardin, Wiliam Collins & Co Ltd, London, and Harper & Row, New York, 1968., h. ii.
[2] Van der Weij, PA., Dr., Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia, Gramedia, Jakarta, 1988, h172.
[3] Ibid, h173.
[4] Sethiadi, Stanley I., Ir., Alkitab dan Ilmu Pengetahuan, Sahabatsurgawi.net., h4.
[5] Proses mengutuk-mengampuni-kompromi ini dalam sejarah gereja berkali-kali tejadi sejak kasus kutukan terhadap tori heliosentris, percobaan penerbangan, pendaratan ke bulan, hingga teori evolusi dan kelak mungkin klonng, rekayasa genetika, keluarga berencana, dll. yang hasilnya hampir pasti: hancurnya kewibawaan intelektual teolog.
[6] Ingatlah misalnya Dr. Hugh Ross. Pada abad 19 dan 20 kita juga tahu adanya teolog yang berkompromi dengan teori evolusi dengan adanya Day-age Theory, Gap-theory, Theistic Evolution, dll..
[7] ibid Sethiadi.
[8] Terlihat bahwa Teilhard lebih percaya evolusi dibanding Kristus.
[9] Ini memang bertolak belakang dengan iman Kristen yang mengajarkan kehidupan semata-mata datang dari Allah.
[10] Band. Pantheisme
[11] Manusia tidak ‘muncul’ tetapi ‘diciptakan’.
[12] -----------, ENI no 16, TA-TZ, Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1991., h. 157
[13] Wildiers, 1968, h133.
[14] Ibid, h134.
[15] Ibid, h137.
[16] Ibid h.62, 80-82.
[17] D.h.i. terjadi paradoks Teori Evolusi Teilhard, sebab dengan kata-kata ‘segala-galanya’ berarti menusiapun diciptakan, bukan hasil evolusi mater.
[18] Ibid, h62-63.
[19] Van der Weij, 1998, h173.
[20] Sethiadi, h8.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar