Rabu, 03 Agustus 2011

MENELAN FREIRE


MENELAN FREIRE
Mianto Nugroho Agung[1]


1. Pendahuluan

Sejarah pendidikan manusia, selama ini lebih banyak berisi lembaran buram mengenai penindas dan si tertindas. Memang terdapat beberapa ‘sekolah’ atau lembaga sejenis sekolah yang menyadarkan dan membebaskan, namun lebih banyak yang menindas. Sejarah itu, jika ditelusuri berpumpun pada dua aliran besar pendekatan pendidikan dan satu aliran baru yang belakangan dicoba dicerna. Aliran pertama adalah Pendidikan Konservatif, yaitu model pendidikan yang semata-mata menggelontor peserta didik dengan materi yang telah ditunggangi kepentingan tertentu sehingga –kata teori tabularasa- ‘kertas kosong’ yang notabene adalah peserta didik sangat diabaikan kebutuhannya. Aliran kedua adalah Pendidikan Liberal (weberian) dan bergaya bank (antifreirean). Aliran ini memberi kebebasan kepada peserta didik untuk memilih jenis materi sesuai dengan minatnya namun ketika materi diakses, tetap ‘pendekatan dialog’ dan ‘pendekatan klasikal’ kembali harus diterima oleh peserta didik itu. Tanggung jawab lembaga pendidikan sebatas ketika ‘transaksi’ berlangsung. Lebih dari itu, maaf saja. Aliran terakhir, pendidikan yang dipikirkan dan diusulkan Freire, yaitu Pendidikan yang Menyadarkan dan Membebaskan (konsientisasi).
            Sebenarnya, sebagai sebuah alternatif pendekatan terhadap pendidikan, gagasan Freire telah dimulai sejak John Dewey (1859-1952) mendirikan sekolah percobaan melawan model sekolah negara yang menekankan pengembangan intelektualisme  dan cenderung verbalistik[2]. Sekolah model negara di tengah pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi itu disinyalir hanya berorientasi menjawab pertumbuhan kebutuhan industri belaka. Karena itu, Dewey mencoba menjawabnya dengan mengembangkan pendidikan yang menitikberatkan pengembangan kejiwaan dan sosial. Kelak pemikiran Pendidikan Perkembangan Dewey ini dielaborasi pembahasannya oleh orang-orang seperti Piaget, Kohlberg, Maslow, Loevinger, Jan Lighthart, dll.
Upaya Dewey kemudian dilanjutkan Jan Lighthart yang bertitik tolak dari ketidakpuasannya atas pendekatan kependidikan yang pasif. Menurutnya, pendidikan haruslah membawa anak-anak mengenal persoalan yang berkaitan langsung dengan kehidupannya. Dalam barisan pendidikan alternatif ini kemudian terdapat nama-nama seperti Ivan Illich, Maria Montessori, Rabindranath Tagore, Ki Hajar Dewantara, Romo Mangunwijaya, dan yang tersohor kemudian: Paulo Freire.

2. Perjalanan ‘kenabian’

           
            Perjalanan Freire di belantara tohu wa bohu (Iberani: kekacauan) Brasilia ‘mirip’ dengan para nabi Perjanjian Lama yang selalu harus bersuara lantang di tengah kekacauan umat Israel. Sebab, jika dilacak pengertian nabi
adalah kata Iberani yang digunakan untuk menyebutkan beberapa jenis orang yang berbeda yang memainkan peranan yang berlainan dalam kehidupan agama Israel. Termasuk dalam nabi ini adalah 1) para pelihat (orang yang mampu melihat dan menafsirkan kebenaran tentang masa lampau, masa kini dan masa depan secara lebih tepat daripada orang kebanyakan dan atas kemampuannya itu mereka memperoleh bayaran. Bil 22:7, 1 Sam 9: 6-8); 2) rombongan nabi (kelompok orang yang biasanya hidup bersama-sama di suatu tempat ibadah dan biasa menyampaikan pesan Allah dalam bentuk nubuatan. 2 Raj. 4: 38; 1 Sam 10: 10; 2 Raj 2: 5, dll.); 3) Nabi-nabi perorangan (inilah yang rupanya cocok dengan sebutan nabi dan nabi Allah itu. Merekalah yang biasanya mendapat hak mengurapi raja baru, memberi konsultasi raja dan rakyat, dan menjadi juru bicara Allah. Tetapi secara fungsi, mereka mempelajari apa kehendak Allah bagi umatNya dan memperingatkan ataupun mendorong umat Allah sezamannya sesuai dengan situasi)[3].
Nuh, Gideon, Yesaya, misalnya dikenal oleh karena keteladanannya di dalam meluruskan jalan-jalan bengkok yang ditempuh umat Allah. Brazilia[4] yang menjadi seting kelahiran Freire tahun-tahun 1960-an tak kalah tohu wa bohu-nya dibanding Israel. Elite politik, sosial, bahkan pendidikan nyata-nyata menghidupi diri dan kedudukannya dengan menindas rakyat. Freire menyatakan bahwa gagasan mengimpor negara yang demokratis bagi Barzil yang demikian “… adalah sesuatu solusi yang tidak kritis, yang khas dari sebuah kebudayaan yang terjajah, naif dan “mesianis” karena masyarakat Brazil tidak memiliki persyaratan yang diperlukan untuk suatu rekonstruksi kritis sebuah demokrasi” (18). “Untuk masyarakat seperti itu, dalam masa transisi diperlukan suatu model pendidikan yang memberikan perubahan-perubahan politik yang mendalam, bukan hanya tehnik-tehnik baru dan struktur-struktur ekonomi untuk menjamin terciptanya dasar bagi demokrasi” (19). Freire menyatakan bahwa pendidikan harus bersifat sosial (mengatasi masalah buta huruf) dan politis (mengatasi masalah kurangnya pengalaman rakyat Brazil tentang demokrasi) (20).
            Buku Paulo Freire: Kehidupan, Karya & Pemikirannya yang ditulis Denis Collins ini menjadi semacam peta dalam upaya mengenal dan menjelajahi Freire. Buku ini haruslah dibaca setelah membaca seluruh (atau sebanyak mungkin) tulisan Freire seperti Pedagogi Pengharapan (Asli 1994, terjemahan 2001), Pedagogi Hati (Asli 1997, terjemahan 2001), bahkan seharusnya juga Paedagogy of the Oppressed (1972), Cultural Action for Freedom (1970), Pendidikan Sebagai Proses. Surat-menyurat Pedagogis dengan Para Pendidik Guinea-bissau (asli 1978, terjemahan 2000) atau buku-buku yang ditulis dengan mengaitkan pemikiran Freire seperti Conscientizacao. Tujuan Pendidikan Paulo Freire oleh William Smith, Paulo Freire, Islam & Pembebasan (2000), dll. Buku-buku yang  menyinggung-nyinggung Freire seperti Teologi Pembebasan (2000) pun perlu dibaca untuk mendapatkan keutuhan pandangan mengenai Freire.
            ‘Nabi’ pendidikan ini, Paulo Freire, lahir di Recife, sebuah kota pelabuhan di timur laut Brazil pada 19 September 1921. Freire menjalani perubahan dalam kehidupannya disebabkan oleh
1)                   teladan dan kasih ayah (Joachim Themistochles Freire) dan ibunya (Edeltrus Neves Freire) yang mengajarinya untuk menghargai dialog dan menghormati pilihan orang. “Orang tuanya berasal dari golongan menengah namun mengalami kesulitan finansial yang parah selama masa depresi besar. Karena itulah Freire sangat menyadari apa artinya lapar bagi anak sekolah dasar”  (6).
2)                   Meski dua tahun tertinggal pengetahuannya dibanding anak seusianya, di masa remajanya itulah visi hidupnya mulai ia temukan ketika “ia mulai mempertanyakan ketidaksesuaian yang ada antara khotbah dengan (dan, mestinya, pen) kenyataan kehidupan sehari-hari” (7). Ditambah lagi kemudian ia memperkaya wawasannya dengan mendalami Maritain, Bernados dan Mounier yang kelak sangat mempengaruhi filsafat kependidikannya.
3)                   Pernikahannya dengan guru SD, Elza Maia Costa Olivera dari Recife yang memberinya tiga orang puteri dan dua orang putera menyebabkan ia berminat pada teori-teori kependidikan (8) padahal ia sendiri adalah seorang sarjana hukum dan pengacara.
4)                   Karier sebagai pendidik dimulainya ketika ia menjadi Kepala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dari Jasa Kemasyarakatan di negara bagian Pernambuco. “Tugas-tugas kependidikan dan organisasional yang dijalankan di sana membuatnya mulai merumuskan cara untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang tidak memiliki apa-apa, yang kemudian berkembang dalam metode dialogisnya” (8-9). Ia juga menjadi pengarah pengajar di Universitas Recife yang kemudian menganugerahinya gelar doktor.
5)                   Sebagaimana dikemukakan di depan, keadaan Brasil yang kacau balau di awal 1960-anlah yang terutama mendorong dirinya menceburkan ke dunia pendidikan orang dewasa melalui metodenya sendiri untuk memelekkan rakyat papa yang ditindas elite. Gejolak semangatnya tersalurkan ketika ia menjadi kepala pada Cultural Extention Service di Universitas Recife (9-11).
6)                   Freire juga dibesarkan oleh ketidakpuasannya akan cara-cara yang digunakan pemerintah untuk mengajari campesinos (petani) untuk membaca dan menulis. Freire mengubahnya dengan melibatkan campesinos dalam proses politik, ia mampu memberi harapan kepada mereka yang dulunya sangat fatalistik (12)[5].
7)       Pengalaman dipenjara dan diinterogasi selama 70 hari pada 1964 akibat tindakannya memelekkan campisenos dituduh subversiv oleh rezim menyadarkannya bahwa dirinya telah gagal mempengaruhi perubahan di Brazil. Pengakuannya itu ia tuangkan dalam karya pendidikannya yang pertama Educacao como Pratica da Liberdade (14).
8)       Setelah dipenjara, Freire diusir dari Brazil dan bekerja di Chili selama lima tahun dengan program pendidikan untuk orang dewasa dalam pemerintahan Eduarado Frei yang dipimpin oleh Waldemar Cortes” (23). Dari sinilah Freire menginternasional dengan cepat. Kelak ia juga melayani di Amerika Serikat, Swiss dan beberapa belahan benua lain.
9)       Freire juga bertumbuh dalam perjuangan pembaharuan agraria sebagaimana dikemukakan dalam essaynya Sobre la Accion Cultural (29-30). Di sinilah ia mengkritisi habis pendidikan gaya bank (liberal) yang weberian. Pendekatan pendidikannya menjadi sejauh ‘memanusiakan land reform dengan komitmen demi tujuan-tujuan perubahan kultural’ (30).
10)   Selanjutnya, bagai anak panah Gibran, seorang Freire melesat menembus sekat-sekat negara dan menyebarluaskan pemikiran-pemikiran kependidikannya yang khas dan terbebas dari pemikir sebelum dirinya.
Perjalanan ‘nabi’ ini kemudian diteruskan oleh mereka yang pro pada pembebasan rakyat papa. Freire kemudian harus didekati melalui pintu masuk karya-karya tulisnya. Beruntung sebagian besar karyanya sempat didokumentasikan. Karena itu Denis Collins bisa memaparkan kepada kita mengenai beberapa hal si Freire ini. Jika di atas Collins memaparkan sisi ‘pertumbuhannya’, sebenarnya ia juga menunjukkan kepada kita segi-segi  yang lain, yaitu cara pembebasannya, kritik-kritik terhadapnya, filsafat kependidikannya, kritiknya terhadap pendidikan tradisional, dan beberapa detil hasil penurunan tiga gagasan besar yang dipaparkan Collins: Hidup, Karya dan Filsafat Freire.

3. Cara Pembebasannya

Pembebasan (Konsientisasi) adalah “ … suatu dimensi dasar dalam tindakan reflektif manusia yang menandakan proses mengetahui, yang merupakan jalan bagi individu-individu dan golongan-golongan tertindas untuk menjadi subyek” (115). Istilah konsientiasi sendiri sebenarnya tidak berasal dari Freire melainkan dari anggota tim kerjanya di Brazil (114). Tahapan konsientisasi teoritis  secara sederhana adalah a) manusia menyadari keadaan ketertindasannya, b) manusia merebut kenyataan dengan melakukan demitologisasi dan bertindak atasnya (116), c) menjadikan realitas baru sebagai obyek suatu refleksi yang baru (116), d) penemuan atas penindasan individu harus mengarah pada penemuan kaum tertindas sebagai kelas (116), dan e) Semakin seseorang mengalami kosientisasi, maka eksistensinya makin bertambah (116).
Dalam bagian pertama, Hidup dan Karya Freire, selain bisa kita ketahui siapa dan bagaimana Freire bergumul dan bertumbuh hingga menjadi ‘nabi’ pendidikan, juga bisa kita dapati bagaimana Freire melakukan proses pembebasan. Collins menunjukkan kepada kita melalui pembedahan karya Freire Pendidikan Sebagai Praktik Pembebasan. Berikut adalah beberapa cara tersebut, yang bisa ditemukan secara eksplisit, terutama dari bagian akhir yang berjudul “Pendidikan dan Penyadaran”.
1)       Freire menempuh proses melek huruf sekaligus melek politik bagi compasinos dengan menggunakan kata-kata generatif (seperti gubuk, sumur, pekerjaan, bajak, kumuh, sekolah, dll. Yang nyata dan dialami mereka) untuk dipelajari (21). “Kata-kata tersebut disebut generatif karena dua alasan: (1) karena kata-kata itu dapat mendorong diskusi masalah-masalah yang akrab tentang kepentingan sehari-hari dari orang-orang yang buta huruf tadi, dan (2) karena dalam bahasa romawi kata-kata yang bersuku kata banyak dapat dengan mudah dipisah-pisahkan ke dalam komponen-komponen suku kata mereka dan kemudian digunakan untuk membentuk kata-kata baru” (21-22).
2)       “Mengarahkan petani pada masalah perumahan, makanan, pakaian, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Dan, kemudian berkembang ke tema-tema yang menggambarkan kehidupan dan budaya manusia sebagai permasalahan yang harus dipecahkan oleh orang-orang itu: kelaparan, ketergantungan, pengangguran, dan sebagainya. “ (22-23)
3)       Menggunakan pintu masuk perjuangan kelas petani untuk menyelenggarakan reformasi agraria (24). Fraire tidak menggunakan buku-buku bacaan tradisional di Chili yang kalimat-kalimat sederhananya tidak relevan dengan situasi orang-orang yang buta huruf itu. (25)
4)       Meninggalkan pendidikan tradisional gaya bank. Pendidikan gaya bank merupakan “metafor yang dengan sengaja dipilihnya untuk menuduh mereka yang tidak setuju dengan konsep pendidikan humanisnya sebagai penghisap yang paternalistik, yang mau mengajarkan keterampilan-keterampilan atau mau mengubah pola-pola sosial hanya bila mereka menerima pengembalian dari investasi mereka. (27). Berpijak pada premis Marx ‘Kunci untuk memanusiakan perubahan agraris adalah pendidikan yang mengakui sifat dialektis realitas’, Freire menyatakan bahwa pendidikan harus menjadi suatu proses yang melibatkan tiga momentum dialektis : investigasi, tematisasi dan problematisasi yang baru (29). Meski menggunakan pintu masuk Marx, Freire menolak sebagai terpengaruh Marx terbukti “Tidak seperti Marx yang dogmatis, Freire sungguh percaya bahwa penghormatan kepada rakyat dan dialog terbuka dapat menuntun ke sebuah dunia lain yang lebih manusiawi dan lebih adil” (45).
Selanjutnya, bacalah Bab 1 Pedagogi Pengharapan (2001) yang megutarakan beberapa aspek mengenai Pendidikan sebagai Parktik Pembebasan. Di sana akan kita jumpai bagaimana Freire menggunakan momentum reformasi agraria sebagai pintu masuk cara pembebasannya.

4. Kritik-kritik terhadapnya.

Ibarat pepatah ‘semakin tinggi pohon, semakin besar goyangan puncaknya’, demikian juga dengan Freire. Bahkan Freire telah mendapatkan kritik sejak ia memulai perjuangannya di Recife selepas pendidikan kepengacaraannya. Namun, lebih dari itu, Collins menunjukkan kepada kita bahwa seluruh kritik itu justru mendewasakan Freire. Kata Collins “Sayangnya kritikus Amerika yang menganalisis karya-karya Freire tidak memiliki akses terhadap karya pertamanya” (15).  Melalui buku kecilnya, Collins menunjukkan kepada kita kritik-kritik bahkan kecaman yang diterima Freire.
1)       “…hampir semua orang mengomentari kesukaan Freire pada pekerjaan ketidakjelasan, pleonasme dan struktur kalimat yang luar biasa rumit serta penjelasan-penjelasan dalam tanda kurung atau yang disisipkan yang panjangnya berkisar dari satu paragraf sampai dua atau tiga halaman” (15). Di Indonesia, penyajian gaya demikian belum bisa ditemukan. Kritik itu diarahkan kepada karyanya Pedagogy of the Oppressed. Pembelaan Collins terhadap hal itu adalah “ … Saya percaya bahwa hal ini dikarenakan tekanan terhadap pemikiran dialektis yang menurutnya harus dimulai dalam pengalaman total manusia” (16).
2)       Freire juga dikritik sebagai “ … terlalu menyederhanakan pelukisan suatu gambaran realitas sosial politik dan terlalu hitam putih” ia juga disalahkan oleh para pembacanya karena dukungannya terhadap kekerasan revolusioner sebagai satu-satunya solusi untuk pendidikan yang opresif. Ia dituduh sebagai seorang pembuat mitos, ambigu, tidak praktis dan sebagai seorang penindas.(37). Untuk ini Collins membela dengan menyatakan bahwa “Dari awal sudah jelas bahwa Freire ingin berbicara tentang pendidikan dan orang-orang miskin di dunia ini yang merupakan korban penindasan. Pendidikan akan berhasil jika ia dijadikan suatu proses kemanusiaan yang dijalankan oleh dan dengan tidak untuk bagian yang lebih besar dari umat manusia” (38).
3)       Eklektisme filsafatnya tidak memuaskan banyak orang. Yang lain mengeluh bahwa meski ia berhasil dalam metode melek hurufnya, dia gagal dalam menawarkan program-program pembebasan yang praktis dan jelas, yang mampu ditransfer ke lingkungan lain. (44).
4)       Kaum radikal juga mengkritik Freire bahwa desakannya untuk dialog dapat melumpuhkan sebuah revolusi (44).
5)       Para pemerhati di negara-negara maju menganggap gagasan Freire sebagai tidak relevan, membingungkan, menyederhanakan persoalan, dan tidak lengkap (46)
6)       Freire juga disebut sebagai seorang idealis (99).
7)       Freire mengingkari bahwa mengubah kesadaran untuk mencapai kebebasan sudah cukup (117).
8)       Freire juga dikritik sedang tersandung karena menyatakan bahwa ketidakpercayaan kepada orang lain oleh seorang pemimpin revolusioner hanyalah ‘menjadi seorang realistis’ (129).
9)       Dan, ia juga dikritik sebagai seorang yang semata-mata menawarkan pandangan politis untuk pendidikan (162).

5. Filsafat Kependidikannya

            Bagian ini dapat kita temukan dalam Bagian 2 buku Collins. Bagian ini merupakan bagian terberat untuk pembaca yang tidak memiliki dasar kependidikan atau filsafat mengenainya. Sekali lagi dianjurkan untuk mengatasinya dengan membaca tulisan sebagaimana disebut di atas. Pada bagian ini Collins memetakan pemikiran Freire ke dalam kelompok-kelompok a) Hakekat Realitas (74-92), b) Bagaimana Realitas Diketahui (93-118), c) Tujuan dan Cara (118-138), dan  d) Pedagogi Hadap-Masalah (139-162).
            Melalui Hakekat Realitas Collins memaparkan bahwa interaksi antara epistemologis Freire dan teorinya sangat menentukan. Frire selalu berbicara tentang realitas manusia atau dunia atau tumbuhan atau hewan dengan mengacu pada proses orientasi pemikiran-bahasa. “Berulangkali ditemukan bahwa acuan-acuan pada kesadaran ‘otentik’ atau ‘tidak otentik’ dan situasi eksistensi yang di dalamnya manusia diasingkan atau tidak diasingkan didasarkan pada kemampuan menggunakan pikiran bahasa dalam praksis nyata.” (75). Tentang realitas, dikemukakan bahwa 1) Realitas dialami manusia sebagai suatu proses (76), 2) Manusia takkan pernah dapat dipahami terpisah dari hubungannya dengan dunia melalui pikiran-bahasa (77), 3) Manusia berbeda dari hewan (78), 4) Sebagian manusia hanya ‘hidup’ dan gagal untuk ‘berada’. (81), 5) Eksistensi manusia merupakan suatu praksis (82), 6) Manusia karena berada dalam sejarah, belum selesai (84), 7) Manusia mempunyai panggilan ontologis ganda: untuk menjadi seseorang ‘subyek’ dan menamai dunia (85), 8) Hubungan manusia-dunia memperlihatkan realitas sebagai suatu masalah semesta tematis dan situasi-situasi limit (88), dan 9) Bereksistensi berarti bertindak secara politis untuk hominisasi (91).
            Beberapa catatan penting mengenai pokok-pokok tersebut adalah 1)  “… manusia sering melakukan kesalahan obyektivisme mekanistik atau idealisme solipsik, yaitu mereduksi manusia dan dunia menjadi benda-benda atau abstraksi, dengan demikian gagal menemukan realitas sebagai proses” (76), 2) “Freire tidak memisahkan subyektivitas dan obyektivitas. Manusia adalah sebab sekaligus akibat dari sejarah dan kebudayaan” (77), 3) “Kapasitas untuk menyempurnakan kegiatan, membedakan secara fundamental kerja manusia dari tindakan-tindakan hewan.” (79), 4) “…: dengan menggabungkan aktivitas reflektif dan tindakan-tindakannya, manusia memberi makna kemanusiaan pada sejarah dan kebudayaan” (83), 5) “manusia adalah proses, tobe dan to be becoming” (84-85), 6) panggilan ontologis manusia adalah untuk menjadi semakin manusiawi (85) karena itu “saat subyektivitas dan obyektivitas disatukan melalui tindakan-tindakan otentik yang mentransformasi dunia, manusia menjadi pencipta dan pengarang sejarah (87), 7) “Manusia historis tidak terbatas pada suatu masa kini yang abadi, dan mengalami kenyataan dalam tiap masa sebagai masalah yang harus dipecahkan” (88), 8) “Satu-satunya cara bagi manusia bereksistensi (menjadi ‘manusia seutuhnya’) adalah dengan bertindak atas dunia, sedemikian rupa sehingga dialektika kemapanan dan perubahan terpelihara dalam struktur sosial”  (92). Perhatikan optimisme Freire dengan term ‘satu-satunya cara’ tersebut!
            Bagaimana Realitas diketahui. Ya, Freire menunjukkannya  dengan cara menegaskan mediasi hubungan manusia-dunia melalui pikiran-bahasa (93). Bagi Freire, “Pengetahuan adalah suatu bentuk praksis, suatu proses yang di dalamnya manusia mulai merefleksikan orientasinya terhadap dunia dengan mengobyektivasikan tindakan-tindakannya, merefleksikannya untuk kembali lagi pada tindakan-tindakan dan refleksi yang baru” (95). Dalam kaitan dengan bagaimana realitas diketahui, Freire menegaskan adanya tugas menjadi manusiawi, yakni: 1) Berpikir dan mengetahui tidak lepas dari sejarah dan budaya (94), 2) Subyektivitas dan obyektivitas tidak dipertentangkan dalam tindakan mengetahui yang sesungguhnya (96). Pada bagian ini Collins menjelaskan idealisme subyektif dan obyektivisme mekanistis yang dimaksudkan Freire, 3) Keadaan kesadaran yang tertindas menimbulkan masalah epistemologis yang bersifat historis (101), 4) Saat manusia muncul dari dualitas kesadaran yang tertindas, kesadarannya berkembang dari kesadaran ‘magis’ ke kesadaran ‘kritis’ (104, lebih jelas, bacalah Conzientizacao), 5) Kesadaran kritis adalah itensionalitas (keterarahan) (110), 6) Mengetahui adalah suatu aktivitas sosial (112), 7) Kesadaran transitif kritis dicapai melalui suatu proses permanen yang disebut konsientisasi (113, baca lebih lanjur Pedagogy of the oppressed), dan akhirnya, 8) Mengetahui adalah bertindak secara politis demi hominisasi: ‘mengetahui’ adalah ‘bereksistensi’ (117).
            Tujuan dan Cara. Collins menunjukkan pintu masuk untuk mengetahui hal ini: pertanyaan aksiologis Freire “Apakah yang berharga (bagi manusia, pen)?. Selanjutnya ditunjukkan hubungan pertentangan antara keterasingan dan pertentangan, penindasan dan pembebasan, hubungan persamaan antara keterasingan dan penindasan dan hominisasi dan pembebasan (118). Selanjutnya Collins mengelaborasi kedua topik tersebut sebagai berikut: 1) Tujuan tertinggi manusia adalah humanisasi melalui proses pembebasan (119), 2) Praksis otentik mengarah pada transformasi permanen atas struktur sosial (121), 3) Dialog adalah nilai-cara sungguh esensial untuk praksis (124), 4) Praksis otentik mengandung komitmen pada utopia (130), 5) Pendidikan sebagai nilai-cara harus menjadi tindakan kultural untuk kebebasan dan revolusi kultural (133), dan 6) Agama adalah suatu nilai-cara (134) yang maksudnya adalah bahwa orang Kristen tidak boleh diam saja mengetahui penindasan. Lawan! Di sinilah terjadi proses menjadi subyek. Sementara untuk menjadi subyek, Freire mengharuskan tiap-tiap manusia untuk melibatkan diri dalam Pengalaman Paskah.
            Pedagogi Hadap-Masalah. Sebagaimana agama, pendidikan (dalam arti agama sebagaimana dikategorikan Durkheim) adalah nilai-cara yang paling penting bagi proses pembebasan manusia (139). Berikut adalah anjuran Freire bagi muatan pendidikan dan perbaikan-perbaikan apa yang dituntut oleh konsientisasi: 1) Kedua tahap pembebasan (ontologis dan epistemologis) mempunyai kualitas pendidikan fundamental (140), 2) Pedagogi otentik adalah tindakan kultural politis (142). 3) Pendidikan tradisional menerapkan metode ‘bank’ (143). Dalam bagian inilah Freire mengkritik habis Metode Pendidikan gaya Bank, misalnya: a) Metode itu hanya digunakan untuk mempertahankan hak istimewa atau lebih buruk memaksa rakyat untuk mempercayai kebenaran kepemimpinan revolusioner (143), b) metode ini memisahkan pengajaran dari pembelajaran (143), c) metode ini merupakan bentuk kekerasan kemanusiaan (145), d) Metode ini merupakan suatu kesalahan karena dalam mempertentangkan guru dan murid, juga mempertentangkan manusia dengan dunia (145), e) Penekanan pada transfer informasi berarti tidak memperdulikan komunikasi atau subyektivitas atau cara manusia mengetahui sebagai co-intensionalitas (146), f) Kesadaran yang dikandungnya terfragmentasi (146), g) tidak mendorong peserta didik menjadi subyek (147), h) memutlakkan kebodohan dan mengganggap dirinya memegang momopoli atas peran ‘guru’ dan ‘spesialis’ (152), 4) Pendidikan dialogis adalah pendidikan hadap-masalah (147) yang bergerak dalam siklus Investigasi, Tematisasi dan Problematisasi (150), 5) Guru dan pengetahuan ahli tidak dipisahkan dari pendidikan dialogis (152), 6) Sintesis kultural adalah suatu alternatif terhadap invasi kultural (156), 7) Perhatian yang cermat pada filsafat pendidikan bukan kemewahan pedagogis.  Bagian ini menunjukkan betapa perlunya guru-guru tradisional (bank) yang berkehendak maju dan mengubah gaya pengajarannya untuk mendalami filsafat pendidikan lebih mendalam lagi.

6. Penutup

            Demikianlah ‘sosok’ Freire dicoba Collins untuk dipetakan dan disuguhkan kepada freirean pemula. Sebagaimana diakuinya dalam bagian awal, Collins “ … berharap bahwa uraian singkat tentang kehidupan dan pemikiran Freire akan membantu pemahaman dan apresiasi yang lebih mendalam atas kritik-kritiknya pada pendidikan tradisional dan beberapa sikap serta taktik yang dipercayanya penting bagi pendidikan humanistik yang nyata dan otentik “ (3-4) maka kita yang membaca buku ini diharapkan tetap dalam ‘ketegangan’ itu.
Sebagai sebuah buku cetakan kedua, mestinya kesalahan tata bahasa (penggunaan ‘dengan’ untuk ‘antara’, ‘di’ untuk kata kerja pasif atau penunjuk tempat, dan kalimat-kalimat belum selesai, misalnya) bisa dihindarkan. Kesalahan kecil yang mengganggu, meski tidak sampai merusak keasyikan membaca.
Buku ini amat  penting dan harus direkomendasikan untuk dibaca oleh para guru yang bergaya feodal dan menganggap dirinya adalah kebenaran. Mahasiswa calon guru seyogyanya menjadikan buku ini sebagai bacaan wajib. Para aktivis pendidikan alternatif yang gandrung andragogi sewajarnya mendalami tulisan Collins ini. Sebab, melalui pembacaan satu buku, pembaca kurang lebih telah dapat menelan Freire dan pikiran-pikirannya. Mereka yang ‘alergi’ tulisan kiri pun dijamin tak perlu ragu sebab sejak awal Freire sendiri menegaskan bahwa filsafat pendidikannya independen, tidak terpengaruh siapapun. Cobalah.



[1] Alumnus IKIP Malang, F.Th. UKSW, Pasca Sarjana Misiologi STT Abdiel, dan mantan guru di beberapa sekolah di Malang, sekarang bekarja di Yayasan Bina Darma Salatiga sambil berbagi pengalaman sebagai Dosen di Fakultas Psikologi UKSW (mulai Semester ganjil 2011/2012 untuk mata kuliah Filsafat Ilmu & Logika) dan di STT Abdiel.
[2] ….., Mengubah Sekolah Membangun Pendidikan, Media Kerja Budaya, Edisi 05/2001, h.16. Untuk membandingkan dengan apa yang dipikirkan Freire baca William A. Smith, Conscientizacao. Tujuan Pendidikan Paulo Freire, Yogyakarta, November 2001, h. 104 dst.
[3] Herbert Haag, Kamus Alkitab, Lembaga Biblika Indonesia, Penerbit Nusa Indah, Ende, 1992.
[4] Untuk mengetahui bagaimana pendapat Freire mengenai negerinya, bacalah Paulo Freire, Pedagogi Hati, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
[5] Baca Paulo Freire, Pedagogi Pengharapan. Menghayati Kembali Pedagogi Kaum Tertindas, Knisius, Yoyakarta, 2001, h.60-64 yang secara konkret memberi contoh bagaimana proses penyadaran itu dilakukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar