Rabu, 03 Agustus 2011

GEREJA DAN KONFLIK DI INDONESIA: Memahami Peran dan Posisi Gereja


GEREJA DAN KONFLIK DI INDONESIA: Memahami Peran dan Posisi Gereja

Abstrak

Agama-agama di Indonesia sedang mendapatkan ujian paling berat. Terutama ketika terbukti bahwa dirinya berhasil ditunggangi dan diperalat elite politik dan ekonomi untuk meraih tujuannya. Agama yang belakangan sibuk melakukan konsulidasi itu akhirnya bertambah sibuk lagi untuk melakukan ‘pembelaan’ dan ‘penyucuian diri’ agar legitimasi peran dan fungsinya sebagai kendaraan menuju Kebenaran Mutlak terjaga. Sebagai wahana, agama seringkali dituhankan oleh para penganutnya sehingga klaim kebenaran, pemujaan teologi tertentu, praksis misi dan implementasi ajarannya gagal menjadi tongkat kehidupan pemeluknya. Bahkan, kemudian para pemeluk-gagal itu menjadi penyulut rangkaian konflik yang hingga kini tak juga mampu dikelola oleh siapapun. Pada tempatnya jika dinamika setting yang mengalami situasi ekstrem itu kemudian menuntut gereja melakukan proses redefinisi diri dan ajarannya demi memantapkan peran dan posisinya dalam berotopraksis.

            Sudah jamak diketahui bahwa oleh karena demikian tinggi nilai subyektifnya, sehingga agama sering justru mendatangkan petaka ketimbang suaka[1]. Celakanya, agama tetap dianggap oleh para pemeluk fanatiknya sebagai paling benar pada dirinya sendiri meski karena itu nyata-nyata menyebabkan kerusakan dan penghancuran banyak matra dengan sedemikian hebatnya. RA. Kartini, pendekar perempuan itu bahkan berujar:
“Ya, Tuhan, kadang-kadang kami berharap, alangkah baiknya jika tidak ada agama. Sebab, agama yang seharusnya justru mempersatukan manusia, sejak berabad-abad menjadi pangkal pertumpahan darah yang sangat mengerikan. Orang-orang seibu sebapak ancam-mengancam berhadap-hadapan karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan Yang Mahaesa dan Tuhan yang sama”[2].
Seakan agama baik langsung maupun tidak langsung menjadi pendorong timbulnya konflik[3]. Atas nama agama pencabutan nyawa, penghancuran asset, pembasmian etnis dilakukan. Konflik yang terjadi di Poso, Maluku, Jawa Timur, Jakarta, dan lain-lain siapa berani menjamin bersih dari unsur keagamaan?[4] Apakah dengan demikian bisa dituduhkan bahwa agama Islam atau Kristen atau yang lain sebagai ‘faktor’ pemicu konflik tersebut? Pada situasi ekstrem, ya[5]. Dengan kalkulasi semacam itu, pada tempatnya jika kita relatif bisa tahu sejauh mana potensi agama dalam mengkondisi konflik ketimbang potensi mendatangkan damai sejahtera di dunia ini. Eka Darmaputera[6] bersama-sama Ma’arif Jamuin dan Alwi Sihab menegaskan bahwa tidak ada konflik antaragama, yang ada adalah konflik antarpemeluk agama dan antara pemeluk agama. Agama pada dirinya berisi ‘jawaban’ atas rasa frustasi manusia di dalam hidupnya[7], dan, karena itu secara esensial jenuin, baik adanya. Jadi, bukan agama yang menyimpan potensi konflik, tetapi faktor-faktor di luar dirinya -klaim-klaim kebenaran, tafsir melintir, depolitisasi, penunggangan dan lain-lain- yang menyebabkan sesuatu konflik[8]. Jika agama, pada dirinya, tidak langsung menyebabkan konflik[9], maka, benar faktor di luar dirinya -seperti ekonomi dan politik- yang bisa dikritisi secara elaboratif. Alias, segi wahana yang digunakan untuk memperalat agamalah yang menjadi pemusatan analisis tulisan ini. Untuk konteks Indonesia yang majemuk, isu keagamaanlah yang paling manjur untuk dijadikan kendaraan menggapai ‘segudang harapan utopis’ yang diinginkan oleh segelintir elit nakal.
            Sebagai Agama Sawawi, Agama Wahyu, Agama Monotheis, Kristen bersama-sama dengan Yahudi dan Islam sama-sama mengklaim sebagai ‘pembawa damai sejahtera’ bagi dunia[10]. Tetapi sejarah dunia mencatat adanya Perang Salib hingga tujuh kali, pergolakan Israel-Palestina yang berkepanjangan, Konflik Moro, Konflik Serbia, Konflik Kashmir, dan lain-lain. Bagaimana realitas yang demikian harus dijelaskan jika bendera ‘pembawa damai sejahtera’ tetap hendak diletakkan dalam diri masing-masing agama, juga bagi agama-agama di luar agama samawi tersebut?[11]
            Tulisan ini, selanjutnya, akan dibuat dengan berbahan dasar utama tulisan Dr. HOTMAN M. SIAHAAN “Agama dalam Konflik Sosial Poltitik di Indonesia” yang berjasa dalam memetakan realitas konflik yang disandang agama-agama dalam bingkai sosial politik. Dan, tulisan Romo Dr. J.B. BANAWIRATMA, SJ. “Panggilan Mengikuti Kristus di Tengah-tengah Kekerasan” yang berjasa menunjukkan alternatif jalan resolusi dengan landasan pijak iman Kristen. Upaya merekonstruksi ulang atas ‘bangunan’ pemikiran kedua pakar tersebut -ternyata- mau tidak mau mengharuskan penulis untuk ‘meminta bantuan’ pakar-pakar lain agar ‘nyambung’ dengan maksud dari keseluruhan tema yang sedang dibangun: Konflik dan Rekonsiliasi. Paling tidak, agar ‘bangunan’ baru nanti selain tidak menghilangkan kekhasan ‘bangunan’ lama juga agar ‘bangunan’ baru tetap fungsional bagi upaya melihat realitas suatu agama (baca: Kristen) yang mesti hidup dan berinteraksi dengan realitas dan wacana konflik. Pada titik ini, yaitu ketika hubungan agama dan konflik jelas letaknya, diharapkan bisa segera muncul jawaban atas pertanyaan di atas. Mudah-mudahan memadai.

Intisari Gagasan Bung Hot dan Romo Bono

1. Hotman M. Siahaan: “Agama dalam Konflik Sosial Politik di Indonesia”[12]

            Dalam seminar, tulisan ini dipresentasikan setelah terbangun suasana kondusif untuk mencerna pemikiran yang dimaksudkan oleh Bung Hot. Paling tidak, setelah paparan key note speaker, Prof Dr. Olaf H. Schumman - Teolog, mengenai “Agama dalam Konflik”, dan dilanjutkan berturut-turut paparan Dr. Kutut Suwondo - Sosiolog (“Gereja dalam Konflik dengan Agama-agama Lain (jalan baru menuju terbentuknya civil society)”) dan Dr. Gerson Thom Therik - Antropolog ( “Agama-agama dalam Konflik dan Pencarian Kebudayaan Indonesia (Perspektif Lokal)”), peserta seminar mendapat bekal untuk memahami presentasi Bung Hot. Sehingga, beberapa definisi teknis -seperti: budaya politik, percaturan politik, konflik keagamaan, gerakan keagamaan[13] dan lain-lain- bisa diabaikan untuk dielaborasi. Itu sebabnya, kemudian, elaborasi peserta bergerak pada pemikiran-pemikiran substantif. Bung Hot dengan gaya khasnya -Jawa Timuran- meladeni kemauan peserta. Perbincangan sekitar agama, budaya, etnis secara kategorial hingga ‘resep’ tertentu untuk meredam konflik bergulir intensif. Tetapi, gagasan dasar bahwa realitas konflik sosial politik di Indonesia yang memperalat agama, tetap dipertahankannya. Berikut ringkasan makalah dimaksud.

a) Aspek Sosial Gerakan Keagamaan

            Gerakan keagamaan, seringkali berhubungan dengan gerakan sosial politik dan protes sosial. Di Indonesia, gerakan itu bisa berlabel gerakan Juru Selamat (messianisme), Ratu Adil (millenarisme), pribumi (nativisme), kenabian (prophetisme), penghidupan kembali (revitalisasi) atau menghidupkan kembali (revitalisme). Berbeda dengan para pluralis dan humanis, Bung Hot -dengan menyitir pendapat SARTONO KARTODIRJO yang menulis “Ratu Adil”-  setuju bahwa gerakan sosial disebabkan oleh gerakan keagamaan “Gerakan sosial termasuk kerusuhan, pemberontakan, sektarianisme, dapat diklasifikasikan sebagai gerakan keagamaan, karena gejala-gejala tersebut pada umumnya cenderung untuk berhubungan dengan gerakan yang diilhami oleh agama atau menggunakan cara-cara agama untuk mewujudkan tujuan-tujuan gaib mereka”.[14]. Bung Hot, lebih jauh menulis bahwa ‘faktor elite’ yang praksis seseharinya dapat dibaca secara telanjang pengikutnya dapat lebih mendorong konflik. Terutama, katanya, jika tokoh kenabian tersebut juga mengembangkan kecenderungan orientasi politik yang ekstrem yang mengejawentah dalam gerakan politik yang radikal. Radikalisme politik[15], dengan demikian, juga diakui Bung Hot sebagai penyebab konflik.
            Secara sosial, para tokoh kenabian berada pada posisi atas sebagai yang digurukan, dipemimpinkan, ditokohsentralkan oleh komunitas sempit maupun luas. Itu sebabnya proses penunggangan agama bisa berlangsung dengan mulus ketika harus dimanfaatkan untuk tujuan apapun. Realitas sosial yang dikotomis seperti penjajah-terjajah, kaya-miskin, terdidik-tak terdidik, dan lain-lain bisa sangat kondusif untuk dijadikan ‘rumput kering’ yang siap dibakar dengan api isu keagamaan lengkap dengan makna-mana simbolik, lambang-lambang, dan aspek adikodratinya. Secara politis, perseteruan antarpolitikus berbeda agama sering juga memperalat agama dengan makna-makna simbolik seperti kafir, jihad, perang sabil, dan lain-lain.

b) Percaturan Politik

            Percaturan politik pada dasarnya adalah merupakan upaya mendorong rakyat untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses politik -berlangsung apabila rakyat menyadari adanya berbagai konflik yang dinilai relevan dengan kehidupan mereka. Percaturan politik di Indonesia pada umumnya disebabkan oleh adanya konflik-konflik yang melibatkan umat-umat beragama, struktur-struktur religius, lembaga-lembaga keulamaan, dan ideologi-ideologi keagamaan. Suatu kenyataan yang juga sama pentingnya, bahwa di balik konflik-konflik keagamaan yang banyak itu, terdapat juga kepentingan-kepentingan politik yang secara esensial bersifat sekuler[16].
            Percaturan politik berlangsung ketika orang mulai menyadari bahwa mereka merupakan anggota kelompok politik yang diwarnai oleh identitas keagamaan[17]. Konflik pada umat beragama, adalah yang tampil sebagai usaha menghancurkan kekuatan “asing” yang berbeda agama, maupun yang muncul sebagai konflik di antara dua umat beragama atau lebih, lambang-lambang keagamaan dimanfaatkan untuk menggerakkan massa, serta menciptakan sikap dan kegiatan oposisi terhadap yang dianggap lawan atau musuh politik[18]. Setelah menyatakan fungsi agama -dan derivasi fungsi-fungsi itu- sekali lagi Bung Hot menegaskan bahwa agama merupakan salah satu di antara berbagai sumber sikap dan nilai yang penting, yang menunjang budaya politik[19].

3) Agama dan Konflik Politik di Indonesia

            Pada bagian akhir dari tulisannya, secara khusus Bung Hot membahas Agama dan Konflik Politik di Indonesia dengan mengusung perjalanan historis Islam Indonesia dari sejak masa penjajahan Belanda yang menunjukkan ketiadaan wakilnya di Volksraad sebagai akibat garis perjuangan Partai Sarekat Islam yang non kooperatif dengan penjajah. Pada masa penjajahan Jepang, akibat anjuran Snouk Hurgronye yang mengkhawatirkan ‘gigi’ Pan Islamisme, Islam mulai menapaki jalur perwakilan formalnya sekaligus menandai era penguatan posisi dan perannya. Dengan menghitung peristiwa Piagam Jakarta, kiprah Masyumi dan berbagai pemberontakan di Luar Jawa di era Orde Lama, di zaman kemerdekaan, posisi dan peran Islam semakin menguat saja. Sayang, kemudian Orde Baru mengabaikan Islam meski telah dibantu menumpas komunisme di Indonesia pada persitiwa G30S/PKI. Keterpurukan institusi primordial itu kemudian berlanjut dengan semakin menguatnya rezim Orde Baru yang otoritarian itu. Bung Hot menandai fusi partai ke dalam dua partai dan satu Golkar sebagai puncak hegemoni negara bagi segala jenis entitas dan anasir bangsa.
            Di aspek hubungan agama dan konflik politik di Indonesia, kemudian, Bung Hot menunjukkan betapa entitas politik telah melakukan proses depolitisasi agama sehingga melahirkan berbagai macam kerusuhan. Dengan mengusung data statisitis temuan FKKI, kerusuhan berupa pembakaran gereja, resolusi gereja dan ‘teror’ di sana-sini nampak bahwa agama telah sedemikian jauh ditunggangi oleh sesuatu rezim yang zalim. Akhirnya, Bung Hot harus menulis bahwa fenomena pembakaran gereja ini sungguh merupakan fenomena yang khas Orde Baru, suatu orde yang mengukuhkan Pancasila sebagai azas tunggal, yang mendepolitisasi gerakan Islam dari atas, (dan orde) yang melakukan infiltrasi ke semua organisasi sosial keagamaan.

2. J.B Banawiratma: “Panggilan Mengikuti Kristus di Tengah-tengah Kekerasan”[20]

            Tahun 2000, di mana kekerasan terbuka dan telanjang sebagai manifestasi friksi, konflik dan konfrontasi berbasis banyak matra menyebabkan berbagai kalangan merasa perlu mencari jalan pemecahannya. Berbagai lembaga rekonsiliasi, resolusi konflik atau apapun namanya berlomba-lomba membangun kebaikan ini demi Indonesia masa depan yang diimpikan penghuninya bersama. Tak kurang Ciscore (Center for Intercultural Studies and Conflict Resolution) di Surakarta yang semakin meningkatkan kinerja pelayanannya. Juga PSPP (Pusat Studi dan Pengembangan Perdamaian) Duta Wacana yang aktif menyelenggarakan pelatihan rekonsiliasi baik tingkat dasar, lanjut hingga pelatihan calon pelatih. Seminar dan lokakarya, misalnya, yang diselenggarakan Balitbang PGI (Salatiga 17-20 September), Go East Institute (Maumere, 25-26 Agustus 2000) dan lain-lain. Dalam kapasitasnya sebagai pemikir, pakar dan gembala umat, Romo Dr. JB. Banawiratma -biasa kami panggil dengan Romo Bono- diundang Balitbang PGI untuk membahani peserta dengan materi dimaksud. Sebagai seorang Katolik pluralis, Romo Bono kentara pro kehidupan yang baik dan berkualitas. Melalui makalahnya -yang disebutnya sebagai pengantar percakapan- nampak jelas figur keagamawannya ketimbang elite suatu agama. Secara ringkas, berikut nukilan pemikiran Romo Bono tersebut:

a) Kekerasan

            Salah satu sebab situasi ketidakadilan yang dialami bangsa Indonesia sekarang adalah kekerasan yang dijalankan oleh Orde Baru melalui alat-alatnya, yakni militer, hukum, informasi dan ideologi dan kadang tidak jarang juga didukung oleh budaya dan agama[21]. Situasi ketidakadilan itu lebih buruk lagi kini telah tersistematisasi sedemikian rupa dalam struktur-struktur formal di segala matra sosial. Sebagai masyarakat majemuk, disadari benar oleh ‘pihak atas’, Indonesia sangatlah rentan terhadap konflik. Apalagi jika model penyatuan antar entitas yang beragam itu bersifat represif. Kenyataan itu menunjukkan betapa perjuangan keadilan dan perdamaian dalam bidang-bidang politik, ekonomi, budaya berhadapan langsung dengan sistem dan struktur kekuasaan yang kuat. Lebih dari itu, konflik vertikal sekaligus juga menjadi konflik horisontal. Romo Bono dengan cerdas -dengan menyitir hasil penelitian GERRY VAN KLINKEN- menilai bahwa konflik Maluku Utara bukanlah merupakan konflik agama sepenuhnya melainkan bersitan atau percikan policy sebuah rezim yang sentralistik otoritarian yang tiba-tiba lumpuh dalam mengatasi konflik ciptaannya sendiri. Secara historis rivalitas kaum elit Maluku Utara yang dimulai sejak beberapa di antara mereka membangun kerja sama dengan penjajah (Portugal, Spanyol dan VOC) juga turut membentuk potensi konflik. Bersitan tersebut kemudian ditunggangi segelintir pihak yang berkepentingan secara politik, ekonomi dan demografi. Maka pecahlah konflik bahkan konfrontasi.
            Konflik yang berbuah kekerasan juga disebabkan oleh praktik di segala bidang yang ambivalen. Agama menjadi sarana kekuasaan. Potret umat beragama di Indonesia nampak dalam tiga sisi ekstrem yaitu 1) KONFLIK ketika mereka diperalat kekuasaan ekonomi dan politik, 2) BERSATU ketika menjadi pelaku politik dan ekonomi melawan masih sesungguhnya, 3) KONFLIK HORISONTAL jika lawan vertikal mereda.
            Kemudian, ‘hantu’ globalisasi yang gagal dikelola telah menyebabkan munculnya sikap psikologis sosial yang melihat kelompok lain sebagai orang luar (komunalistik), fundamentalisme di segala matra (keluarga, ras dan suku), dan gender. Akumulasi dari hal itu adalah lahirnya komunitas yang tidak bersedia melakukan dialog tetapi justru cenderung menggunakan kekerasan. Oleh karena demikan profil masalahnya, menurut Romo Bono diperlukan 1) strategi yang tidak lepas dalam cakrawala perubahan sistem dan struktur itu, 2) perumusan dengan jelas menunjuk apakah “nama” yang harus dilawan bersama, dan 3) gerakan-gerakan dari bawah dengan kesadaran kritis yang terus menerus serta organisasi yang kuat.

b) Tali-temalinya Ketidakadilan dan Pemberdayaan

            Pada bagian ini, Romo Bono menunjukan bahwa tali-temali atau urut-urutan dan sangkut-pautnya ketidakadilan sangat luas dan kompleks seluas aspek kelas, gender, lingkungan hidup, HAM, dan lain-lain. Pada dasarnya, jika satu dari anasir yang ada di dalam tali-temali itu teraniaya, maka rentetannya bisa sejauh beberapa tingkat di bagian selanjutnya. Oleh karena itu, pemberdayaan rakyat mengandung tanggung jawab azasi untuk membela keluhuran martabat manusia beserta hak-haknya untuk hidup dan berpartisipasi dalam semua bidang kehidupan. Dengan kata lain terhadap akibat buruk dari adanya kekerasan diperlukan tindakan memajukan keadilan dan persaudaraan menuntut pemberdayaan kaum yang paling rentan menjadi korban konflik[22] (miskin dengan segala pengertiannya) yang sekaligus menjadi satu dengan perjuangan keadilan gender dan pemeliharaan lingkungan hidup serta HAM.

c) Panggilan Para Murid Yesus: Menjalani  Perjuangan untuk Keadilan dalam Kebenaran dan demi Kehidupan.

            Bagi pengikut Kristus -gereja-, Yesus adalah satu-satunya[23] Jalan, Kebenaran dan Kehidupan. Gereja wajib meniru Yesus. Kehadiran Yesus menyimbolkan konflik Allah dengan kuasa kegelapan yang selalu siap menjerumuskan manusia. Pilihan Gereja untuk setia mengikuti Kristus terwujud dalam usaha mendahulukan kaum yang paling rentan terhadap adanya konflik tersebut. Hal itu, akan semakin nyata bila sungguh-sungguh menjadi arah hidup menggereja serta mendapat wujud dalam tindakan-tindakan dan gerakan yang konkret. Jika dalam konflik yang dialamiNya, Yesus melawan pembunuhan dan kebohongan dengan kebenaran dan rekonsiliasi maka demkian jugalah yang seharusnya diperbuat gereja.
            Lebih jauh, secara preventif, Romo Bono mengajak umat beragama membangun komunitas rekonsiliasi. Komunitas yang naratif. Yaitu, komunitas yang mampu membuka memori-memori dan membangun hubungan-hubungan baru dalam ceritera-ceritera para korban. Komunitas yang demikian -nyata dalam Kelompok Basis Manusiawi, Kelompok Basis Antar iman- adalah kelompok yang harus dianggap sebagai pendukung transformasi kultural religius. Pilihan aksinya harus berparadigma pluralistik spiritualitas[24]. Cakupan pelaku aksi haruslah didasarkan pada paradigma holistik yang melibatkan semua pihak

d) Simbol Tubuh Kristus dan Wakil-wakil Kristus

            Dengan pintu masuk perjamuan terakhir Yesus, barang siapa menyambut roti, berarti ‘teken kontrak’ untuk hidup sebagaimana hidup Yesus dalam segala hal. Garis perjuangan Yesus jelas, yaitu berpihak pada kelompok marginal yang rentan teralienasi oleh pihak-pihak nakal. Jadi gereja -atau siapapun yang menyambut roti perjamuan- adalah mereka yang siap berjuang dalam koridor garis perjuangan Kristus.
            Selanjutnya, dengan menyitir pendapat A. PIERIS (1999) yang menyodorkan paradigma Love is action, Romo Bono setuju bahwa ‘puncak kehidupan tidaklah terletak dalam kesatuan mistik atau kontemplasi, tidak dalam ibadah gerejani, tidak pula dalam integrasi aksi (lebih rendah) ke dalam kontemplasi (lebih tinggi), melainkan dalam aksi demi kaum miskin’. Lebih jauh, ekspresi hidup menggereja yang personal dan yang komunal harus dikelola dalam ketegangan dan dinamika yang intens dan imbang sehingga ‘introversi doa yang berpusat pada diri sendiri (doa saya menyelamatkan saya) dan mesianisme pathologis (hanyalah saya/kita/agama Kristen yang dapat menyelamatkan dunia); terhindarkan[25].

e) Rekonsiliasi

            Dengan menyitir pendapat R. SCHREITER (1998), Romo Bono menggulirkan ide Rekonsiliasi Individual dan Rekonsiliasi Sosial sebagai upaya meretas jalan menuju masa depan yang penuh harapan. Rekonsiliasi individual terjadi apabila kemanusiaan korban yang telah dirusak oleh kejadian-kejadian traumatis, dipulihkan. Sementara itu, Rekonsiliasi Sosial adalah segala tindakan moral yang perlu dijalankan dan perbuatan-perbuatan yang perlu diperbaiki. Kedua jenis rekonsiliasi ini mempunyai ciri yang serupa yaitu 1) keduanya ingin keluar dari kungkungan masa lampau demi masa depan yang lebih baik di  mana perusakan dan pemerkosaan kemanusiaan individu dan kelompok tidak terjadi lagi, 2) keduanya ingin mengubah hubungan-hubungan melalui pemulihan kemanusiaan korban dan pertobatan pada pihak masyarakat. Rekonsisliasi menempuh jalan penyembuhan. Tugas lembaga yang mengemban kedua misi rekonsiliasi tersebut menurut DAAN BRONKHORST haruslah 1) berusaha menemukan kebenaran mengenai apa yang terjadi pada waktu kekerasan atau konflik, 2) proses yang ditempuh haruslah memperkuat hukum, 3) proses harus berjalan secara demokratis dan terbuka untuk diperiksa, dan 4) harus diusahakan jalan untuk memperbaiki nasib korban.

f) ) Pengampunan

            Pengampunan dalam rekonsiliasi individual merupakan keputusan korban untuk tidak lagi dikuasai oleh akibat-akibat kejadian masa lalu dan merupakan pilihan bebas untuk masa depan. Dalam rekonsiliasi sosial hal itu maujud dalam bentuk AMNESTI dan TIDAK DIHUKUM. Pada tahap ini, dibutuhkan tingkat kearifan tinggi - setinggi Yesus yang mengajarkan hal mengasihi musuh- untuk melupakan masa lalu demi masa depan yang penuh pengharapan tadi itu.

g) Panggilan dan Tugas Pengutusan Gereja

            Dengan mendasarkan diri pada paradigma holistik, semua pihak, terlebih gereja, haruslah menyadari perannya dalam menyikapi konflik ini. Untuk itu gereja perlu lebih menyadari lagi panggilannya dan tugas pengutusan politisnya. Politik dalam arti luas, yaitu antara lain tindakan pidato, ceramah, surat penggembalaan, tulisan yang dipublikasikan, kegitan di bidang pendidikan, kesehatan, kursus formal, kesenian dan lain sebagainya. Gereja menjadi pelaku politik dalam arti seperti ini demi mengamankan tugas profetis mewartakan kerajaan kebenaran, keadilan, perdamaian dan persaudaraan semua orang dengan cara menolak apa yang tidak benar, tidak adil, kerusuhan, kekerasan dan lain sebagainya. Gereja sebagai tubuh Kristus eksis dalam aksi menjalankan tugas politis ini.

3. Peran dan Posisi Gereja dalam Konflik di Indonesia

            Dengan menggabungkan catatan kritis baik dalam tubuh tulisan maupun di catatan kaki, paparan berikut merupakan bagian integral yang harus dibaca dalam kerangka dasar keseluruhan tulisan ini. Paparan berikut lebih sebagai sekadar refleksi bahkan respon ketimbang elaborasi kritis mengingat terbatasnya berbagai hal, terutama kesempatan untuk ‘memburu’ referensi demi menopang gagasan asli penulis.
            Membicarakan ihwal ‘Peran dan Posisi Gereja dalam Konflik di Indonesia’ mau tidak mau -barang sepintas- perlu dikemukakan ihwal gereja, konflik dan konteks di mana gereja dan konflik itu berada. Gereja -demikian BOSCH- haruslah dipandang sebagai umat Allah dan implikasinya, sebagai gereja yang berziarah[26]. Lebih jauh, katanya:
Gereja adalah peziarah bukan semata-mata karena alasan praktis bahwa dalam zaman modern ia tidak dapat lagi menjadi penentu arah dan di mana-mana menemukan dirinya dalam situasi diaspora; sebaliknya, menjadi peziarah di dalam dunia pada hakikatnya tergolong pada posisi gereja yang eks-sentris. ... Umat yang berziarah hanya membutuhkan dua hal: dukungan selama perjalanan dan tujuan akhir. ... Sambil memberitakan kesementaraannya Gereja berziarah menuju masa depan Allah”[27]
Gereja -kata Bosch- atau umat kristiani (iman kristiani) kata Karl Bart memiliki visi menghadirkan Kerajaan Allah dan karena itu misinya adalah mewujudkan kehadiran Kerajaan Allah itu di dunia[28]. Dasar dan Kepala Gereja adalah Yesus Kristus sendiri (1 Kor 12). Interaksi dinamis dalam gereja yang demikian adalah ‘pola hidup gereja’ yang berfungsi sebagai Keluarga Allah. Dalam keluarga Allah, yang menonjol bukanlah kekuasaan dan dominasi, melainkan  sharing  dan  caring[29]. Gereja dengan demikian lahir dari yang ilahi, berkaraya di dunia demi masa depan dan rujuk dengan yang ilahi.
            Dalam profilnya yang demikian itu, gereja bisa saja terjebak dalam realitas friksi, konflik dan konfrontasi. Gereja bisa berada di tengah-tengah konflik pada suatu saat, dan pada saat demikian gereja seringkali terpaksa menerima penghakiman sebagai sumber masalah atau peredam konflik (trouble maker atau problem solver). Itulah kedudukan gereja pada umumnya. Suatu hal yang sesungguhnya diterakan oleh pihak luar. Perhatikan rezume kedua makalah di atas, nampak bahwa agama (di dalamnya termasuk Kristen atau umat kristiani, pengikut Kristus, yang notabene adalah gereja) masih juga diletakkan sebagai sumber masalah baik itu friksi, konflik hingga konfrontasi. Tetapi, jika diperhatikan dengan lebih seksama, nampak pula -ternyata- kemudian bahwa dalam hal ini gereja hanya kambing  hitam bagi segelintir pemegang kekuasaan yang nakal.
            Gereja bisa terjebak dan masuk ke situasi yang serba sulit jika klaim kebenaran atas dirinya dipaksa harus juga diterima oleh pemeluk agama lain. Klaim kebenaran biasanya lahir berlandaskan tafsir teologi yang usang dan karena itu lepas dari konteksnya ketika hendak diletakkan di konteks lain yang berbeda sama sekali. Karena itu, tafsir-tafsir teologi yang dibuat oleh teolog-teolog yang berbeda zaman harus diuji kembali secara kritis dengan memperhatikan muatan lokal. Alternatif pengayaan ragam kegitan dalam payung panggilan politis mesti digarap lebih teliti dan holistik. Misi harus mengalami transformasi dari segi muatan, strategi dan pradigmanya[30]. Gereja bisa diharapkan sebagai problem solver jika intensitas pergaulan yang dimasukinya berkualitas dan potensial untuk mengubah paradigma usang. Alangkah indahnya jika proses melepaskan diri dari eksklusivitas hidup beragama secara serentak bisa dimulai sedini mungkin dan dalam kecepatan yang tinggi sehingga harapan untuk hidup lebih inklusif dan pluralis segera bisa wujud. Dimensi hidup inklusif dan pluralis ini selain diteladankan Yesus, secara lebih eksplisit juga ditunjukkan oleh jemaat mula-mula seperti misalnya yang ditunjukkan oleh Kisah Para Rasul 2: 41-47.
            Akan halnya konflik, konflik adalah ketegangan terpendam yang kondusif untuk meledak menjadi berbagai ekspresi: diam yang mencekam, curiga berlebihan, keberpihakan ekstrem, pertempuran sengit, bahkan peperangan terbuka. LEONARD GREENHALGH, menulis:
Konflik bukanlah suatu fenomena yang obyektif dan nyata; tetapi, ia ada di benak orang-orang yang terlibat. Hanyalah perwujudannya, seperti sedih, berdebat, atau berkelahi yang terlihat nyata[31].
Karena ‘bukanlah suatu fenomena yang obyektif’ jenisnyapun seluas konflik batin, konflik internal, konflik kepentingan, hingga konflik sosial. Konflik akan tumbuh dan hidup subur di lahan-lahan yang memiliki tipologi ekstrem, plural, instabil dan rentan. Ekspresi nyata akan tiba ketika cukup siraman apapun yang provokatif dan tepat waktu. Realitas plural Indonesia -ditambah situasi instabil (tidak ada supremasi hukum dan pegangan etis lainnya) dan ekstrem (krisis)- jika diprovokasi dengan sulutan api berdimensi ekonomi (yang kaya makin kaya, yang miskin semakin miskin dan teraniaya, misalnya) ataupun politik praktis (partai pemenang pemilu mestinya memimpin negara, misalnya) maka akan cepat terjadi berbagai ekspresi konflik dimaksud.
            Dari sisi konflik an sich, benar jika konflik bisa bermatra baik, produktif, konstruktif atau sebaliknya buruk, kontraproduktif dan destruktif. Konflik positif atau negatif akan sangat ditentukan bagaimana ia dikelola. Pengelolaan konflik atau manajemen konflik (yang standar) inilah yang seharusnya dikuasai gereja dan elit-elitnya.
            Kembali ke pokok pembahasan, dalam realitas Indonesia dewasa ini, ekspresi konflik berupa pertikaian berdarah di berbagai tempat, penjarahan dan penghakiman jalanan, dan lain-lain sesungguhnya merupakan setting pelayanan gereja yang hidup, aktual dan hakiki. Paling tidak, jika menggunakan informasi Balitbang PGI, maka isu-isu provokatif di bidang ekonomi, politik, hukum dan HAM-lah yang harus menjadi perhatian gereja di dalam pelayanannya. Gereja ditantang masuk dan berkarya secara nyata demi masa depan gemilang yang digembar-gemborkannya.
            Isu-isu provokatif di keempat bidang tersebut bisa dipetakan ke dalam bagian-bagian yang lebih detil sehingga gamblang ‘apa nama musuh bersama’ yang harus diperangi. Di bidang ekonomi, kenyataan kehidupan yang semakin sulit, berjangkitnya kantung-kantung kemiskinan, standar hidup yang semakin buruk, merebaknya perjudian, eksploitasi manusia atas manusia, konglomerasi dan monopoli sumber daya, kebijakan ekonomi nasional yang tidak manusiawi, dan lain-lain adalah proyeksi detil -meski masih bisa diperdetil lagi- dari wajah bopeng perekonomian Indonesia yang berpotensi menjadi api penyulut rumput kering tadi. Gereja dituntut untuk mampu mempengaruhi policy maker dengan memberikan masukan yang akurat dan menawarkan solusi konkretnya.
            Secara psikologis atau mungkin lebih tepat psikososial, DISTER menunjukkan dengan mengulas di hampir separuh bukunya, seseorang memeluk agama karena motiv 1) untuk mengatasi frustasi, 2) untuk menjaga kesusilaan serta tertib masyarakat, 3) untuk memuaskan intelek yang ingin tahu, dan 4) untuk mengatasi ketakutan[32]. Dengan memperhatikan hal itu dan merujuk ‘fungsi’ gereja, kiranya sosok gereja yang bagaimana yang diinginkan pemeluk agama Kristen, semakin jelas.
            Di bidang politik, hampir semua orang tahu betapa elite politik Indonesia saat ini tidak lebih sekadar ‘badut-badut’ yang sedang memainkan drama dukacerita di atas pentas berupa rakyat yang tertindas dan teralienasi. Elite politik -di era otonomi daerah ini, apa lagi- bagaikan mahadewa yang bisa melakukan apa saja: membuat SK kenaikan gajinya sementara sebagian besar buruh yang notabene rakyatnya harus puas menerima gaji di bawah standar, melancong ke luar daerah hingga ke luar negeri sementara rakyat bahkan untuk mudik lebaran setahun sekali harus menyabung nyawa, melakukan praktik money politik, memperalat rakyat demi suara partai, dan lain-lain. Jual beli jasa demi posisi sekarang ini begitu telanjang dipraktikkan di depan hidung rakyat.
            Di bidang Hukum, apa lagi. Setelah supremasinya gagal ditegakkan kini hukum dijadikan kendaraan untuk melanggengkan vested interest di tangan.  Pencarian Tommy, misalnya, mengapa hanya berkutat di Jakarta dan Solo. Sedikit melebar ke Denpasar, misalnya, atau ke kota yang lebih jauh. Pengadilan anasir wanorde baru[33]hingga saat ini belum juga kelar sementara akibat tidak jelasnya kriteria perkara yang masuk ke MA menjadikan ribuan perkara tidak kunjung bisa diputus. Dalam berurusan dengan hukum, rakyat nampaknya masih tetap memegang adagium ‘daripada melapor kehilangan ayam harus membayar kambing, lebih baik bungkam saja’. Hukum belum menjangkau rakyat kebanyakan. Hukum hanya komoditas bagi ‘kelas atas’. Kalau toh hukum harus dikenakan -itupun pasti secara represif- kepada rakyat, paling hanyalah apa yang seharusnya ‘dibayarkan’ oleh rakyat. Pendek kata, menurut Balitbang PGI produk hukum Indonesia masih eksklusif dan diskriminatif.
            Di bidang HAM, yang konkret dalam bentuk eksploitasi anak-anak dan perempuan, pemahaman partikularistik elite mengenai HAM, depolitisasi peran agama, degradasi dan pereduksian kebudayaan lokal secara sistematis, distribusi ‘kue’ pembangunan yang diskriminatif, dan lain-lain adalah api bagi rumput kering Indonesia yang plural, dilanda krisis, dan sedang dilanda ketidak pastian ‘pegangan’ dalam praksis berbangsa dan bernegara.
            Gereja, dengan empat karakteristik versi FRIDOLIN UKUR, yaitu 1) sebagai persekutuan yang peduli terhadap yang kurang beruntung, 2) yang berinkarnasi, merupakan persekutuan yang menderita, 3) hamba yang menderita, dan 4) gerakan pembebebasan dan kenabian, haruslah tanggap terhadap persoalan kemanusiaan tersebut di atas[34]. Jangan sampai gereja mengulangi sejarahnya yang gagal mengantisipasi era-era feodalisme, kapitalisme dan sosialisme. Teori Huntington adalah salah satu tengara yang memadai untuk mengantisipasi era global dan masyarakat yang tanpa batas (borderless society) ini
            Paradigma ‘bebas dari dan bebas untuk’ yang diintrodusir Balitbang PGI, misalnya, bisa digunakan sebagai upaya meretas jalan gereja dalam memainkan peran dan memposisikan dirinya secara asli dan azasi. Karena itu, setidaknya ada lima agenda perjuangan gereja untuk hal itu, yaitu: 1) Gereja harus bebas dari konflik destruktif dan bebas untuk melakukan konsulidasi dan rekonsiliasi; 2) Gereja harus bebas dari hegemoni api ekonomi-politik-hukum dan bebas untuk melakukan pelayanan cinta kasih demi masa depan yang berpengharapan; 3) Gereja harus bebas dari pendewaan teologi dan bebas untuk mengabdikan diri pada ajaran cinta kasih Yesus Kristus; 4) Gereja harus bebas dari label agama fungsional[35] dan bebas untuk mereformasi diri kembali menjadi ‘agama’ asli[36]; dan 5) Gereja harus bebas dari paradigma pergaulan antaragama yang polemis apologetik dan bebas untuk melakukan perbandingan dan dialog.


(Mianto Nugroho Agung, pemerhati awam sastra Indonesia. Alumnus FPIPS-IKIP Malang FTh.-UKSW, dan Pascasarjana Misiologi STT Abdiel. Sekarang staf pelaksana Yayasan Bina Darma, Salatiga. Mengajar di Fakultas Psikologi UKSW dan STT Abdiel)


Daftar Pustaka:

1.        Siahaan, Hotman M.: 1998. “Agama dalam Konflik Sosial Poltitik di Indonesia”. Makalah,          dipresentasikan dalam Seminar Agama-Agama: Agama-Agama dalam Konflik: Mencari Format               Kehadiran Agama-agama dalam Masyarakat Indonesia Kontemporer, diselenggarakan oleh          Balitbang PGI di Wisma Sejahtera, Magelang, 13-18 September 1998.
2.        David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, Jakarta, BPK. Gunung Mulia, 1997.
3.        YBD, Rumpun Materi Pelatihan Spiritualitas Pelayanan, Salatiga, Yayasan Bina Darma, 1983.
4.        Tom Jacobs, SJ, Dr. (ed), Gereja Menurut Perjanjian Baru, Yogyakarta, Kanisius, 1988.
5.        Suwondo, Kutut: 1998. “Gereja dalam Konflik dengan Agama-agama Lain (jalan baru menuju     terbentuknya civil society)”. Makalah, dipresentasikan dalam Seminar Agama-Agama: Agama-      Agama dalam Konflik: Mencari Format Kehadiran Agama-agama dalam Masyarakat Indonesia                Kontemporer, diselenggarakan oleh Balitbang PGI di Wisma Sejahtera, Magelang, 13-18     September 1998.
6.        Darmaputera, Eka.: 1998. “Gereja Mencari Jalan Baru Kehadirannya” Makalah. dipresentasikan dalam     Seminar Agama-Agama: Agama-Agama dalam Konflik: Mencari Format Kehadiran Agama-    agama dalam Masyarakat Indonesia Kontemporer, diselenggarakan oleh Balitbang PGI di Wisma     Sejahtera, Magelang, 13-18 September 1998.
7.        Balitbang PGI: “Gereja-gereja di Tengah Krisis dan Gerakan Reformasi di Indonesia. Pro Ecclesia et          Patria, Rangkuman Eksekutif. Jakarta 1998.
8.        Ukur, Fridolin: 1998. “Gereja Mencari Kontekstualisasi Konkret” dipresentasikan dalam Seminar                                Agama-Agama: Agama-Agama dalam Konflik: Mencari Format Kehadiran Agama-agama dalam                             Masyarakat Indonesia Kontemporer, diselenggarakan oleh Balitbang PGI di Wisma Sejahtera,     Magelang, 13-18 September 1998.
9.        J.B Banawiratma: 1999.  “Panggilan Mengikuti Kristus di Tengah-tengah Kekerasan”. Makalah,               dipresentasikan dalam Seminar Agama-Agama: Agama-Agama dan Rekonsiliasi, diselenggarakan    oleh Balitbang PGI di PPSDM Yayasan Bina Darma, Salatiga, 17-20 September.
10.     Tanja, Victor I.: 1994. Spiritualitas, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung    Mulia
11.     Geertz, Clifford.: 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius
12.     O’dea, Thomas F.: 1990. Sosiologi Agama. Suatu Pengantar Awal. Jakarta-Yogyakarta: Rajawali Pers     dan Yasoga.
13.     Robertson, Roland (ed).: 1988. Agama: dalam analisa dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta: Rajawali       Pers.
14.     Sitompul, Einar dan Raini MP Hutabarat (ed): 1997. Gereja di Pentas Politik. Belajar dari Kasus                HKBP. Jakarta: Yakoma-PGI.
15.     Timpe, A. Dale: 1991 Seri Ilmu dan Seni Manajemen Bisnis 1. Memimpin Manusia. Jakarta; Elex              Media Komputindo.
16.     Panitia Penerbitan Buku Kenangan Prof. Dr. Olah Herbert Schumann Balitbang PGI: 1999. Agama             dalam Dialog. Pencerahan, Pendamaian dan Masa Depan. Jakarta BPK Gunung Mulia.
17.     Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF (ed): 1998. Passing Over. Melintasi Batas Agama. Jakarta:    Gramedia Pustaka Utama dan Yayasan Wakaf Paramadina.Trueblood, David, 1965. Filsafat             Agama. (Diterjemahkan dan disusun kembali oleh Prof. Dr. H. M. Rasjidi). Jakarta: Bulan                Bintang.
18.     Dister, Nico Syukur, OFM: 1994. Pengalaman dan Motivasi Beragama. Yogyakarta: Kanisius.
19.     Jamuin, Ma’arif: 1999. Manual Advokasi Resolusi Konflik Antar-Etnik dan Agama. Surakarta:                 Ciscore.


[1] SAMUEL P. HUNTINGTON memaparkan dalam bukunya “The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order” yang dikemukakannya sekali lagi dalam Seminar Sehari Clash Civilization and Democracy: The Struggle for Indonesian yang diselenggarakan oleh Strategic Inteligence di Grand Hyatt, Jakarta, Rabu 24 Mei 2000. Dengan mengusung contoh bersatunya umat Islam di seluruh dunia -untuk menunjukkan adanya benturan peradaban di bidang agama- yang mengasosiasikan diri mereka dengan menggalang dukungan sesama Muslim, menurutnya sah dilakukan perang melawan nonmuslim di Bosnia, Kosovo, Kashmir dan Filipina. Jurnal Pasar Modal Indonesia yang melaporkan seminar tersebut menulis pernyataan Huntington mengenai Indonesia yang potensi konfliknya -agama khususnya- kecil. Sebab, potensi munculnya radikalisme Islam di Indonesia, juga kecil atau jauh lebih kecil dibanding negara-negara lain. Huntington mendasari anilisisnya tersebut dengan asumsi karakter khas Islam Indonesia dan garis Islam Moderat sebagaimana ditunjukkan Gus Dur tumbuh cukup kuat. Periksa juga Jamuin, 1999, 21.
[2] TH SUMARTANA. Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993.
[3] Ini menurut MA’ARIF JAMUIN dalam Manual Advokasi Resolusi Konflik Antar-Etnik dan Agama sebagai diakibatkan oleh pemutlakan klaim kebenaran dan penganutan teologi salah kaprah oleh pemeluk fanatik tersebut. Juga, kualitas pekabar dan teknik pekabaran ajaran sesuatu agama dianggap penting dituduh sebagai faktor penyebab. (Jamuin, 1999, 1-19). Hal senada juga dikemukakan oleh ALWI SIHAB dalam  HIDAYAT, (1998, 319-320).
[4] Menurut HOTMAN M. SIAHAAN (Siahaan, 1998), mengutip laporan FKKI, sejumlah perusakan rumah ibadah dikarenakan tindakan khas Orde Baru yang mengukuhkan Pancasila sebagai azas tunggal, yang mendepolitisasi gerakan Islam dari atas, yang melakukan infiltrasi ke semua organisasi sosial keagamaan.
[5] Jamuin, ibid.
[6]EKA DARMAPUTERA (dalam Hidayat, 1998, 243-245), menyatakan ini dengan mengangkat cerita Hindu mengenai klaim keaslian cincin warisan ayahanda tiga putera raja. Cincin -sebagai analog sesuatu agama- tidak pernah berkonflik dengan cincin yang lain. Tetapi, pemilik cincinlah yang berkonflik entah karena klaim kebenaran, tafsir-tafsir, atau pereduksian pemaknaan atas kepemilikan cincin tersebut oleh vested interest berbingkai ekonomi dan politik. Bdk. dengan pendapat JAMUIN (1999, 20-26) dan SIHAB (Hidayat, 1998, 319).   yang menyatakan “... prinsip dasar kedua agama itu (Islam dan Kristen, pen.), yakni bahwa Tuhan yang menyayangi mereka yang menginginkan petunjuk dan penyelamatan semua makhlukNya’
[7]Teori Freud  dalam The Future of an Illusion sebagaimana dikutip NICO SYUKUR DIESTER (1994, 78-79) menunjukan -secara logis- bagaimana asal muasal suatu agama. DIESTER menulis bahwa berdasarkan tingkat keterbelengguan pemeluknya oleh afeksi religius yang elementer, sesuatu agama belumlah mencapai taraf agama yang sejati. Karena itu masih diperlukan upaya pemurnian -dari unsur magis- yang antara lain (pen.), petunjuk-petunjuknya bisa ditemukan dalam Al-quran dan Kitab Injil. Di titik ini, bukan berarti agama di luar Islam dan Kristen dihakimi sebagai tidak sejati. Agama yang belum sejati yang dimaksudkan oleh DIESTER adalah agama yang Tuhannya terhegemoni dan terkooptasi oleh pemeluknya sehingga bisa dihakimi dengan klaim “Tuhan tidak ada”. (1994, 85).
[8]JAMUIN juga menambahkan bahwa penyebab konflik adalah radikalisme politik dan kesenjangan ekonomi (1999, 40-49), arogansi budaya juga dianggap penyebab konflik, khususnya konflik antaretnis (1999, 50- dst.).
[9] Dikatakan tidak langsung, sebab dalam situasi ekstrem, menurut JAMUIN (1999, 22) agama mampu menjadi pendorong timbulnya konflik.
[10]Yahudi datang dengan konsep Allah yang memberikan janji indah setelah proses melelahkan eksodus dari Mesir ke tanah perjanjian (KOMARUDDIN HIDAYAT dalam Hidayat, 1998, 206), Kristen datang dengan konsep penebusan dan pendamaian Allah atas dosa manusia, dan Islam datang dengan ajaran damai sejahtera baik di dunia maupun di akhirat yangharus ditempuh melalui kerja keras pemeluknya untuk mendapat ridla Allah SWT. (Hidayat, 1998, 208). Ketiga agama samawi ini memiliki persamaan yang paling mendasar: ‘semua rasul itu muncul membawa misi kasih Tuhan untuk menyelamatkan manusia dari ketertindasan dan kesesatan hidup dengan menghubungkan kesadaran manusia akan Tuhannya Yang Mahaesa dan Mahakasih’ (Hidayat, 1998, 207).
[11] Sebab di luar konflik antaragama samawi, juga kita dapati adanya konflik antara Hindu Fundamentalis dan Nasrani di India, dan agama-agama lokal melawan agama-agama besar dunia.
[12]SIAHAAN, HOTMAN M.: 1998. “Agama dalam Konflik Sosial Poltitik di Indonesia”. Makalah, dipresentasikan dalam Seminar Agama-Agama: Agama-Agama dalam Konflik: Mencari Format Kehadiran Agama-agama dalam Masyarakat Indonesia Kontemporer, diselenggarakan oleh Balitbang PGI di Wisma Sejahtera, Magelang, 13-18 September 1998.
[13] Wacana ‘gerakan keagamaan’ yang dimaksudkan oleh Bung Hot mungkin bisa dibandingkan dengan yang ditulis B.R. WILSON (“Agama dalam Masyarakat sekuler”) dalam ROLAND ROBERTSON (ed) “Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis” . 1988. 186-187.
[14] Ini barangkali yang dimaksudkan oleh Jamuin sebagai situasi ekstrem (Jamuin. 1999, 22). ‘Tafsir’ sebagai tidak pluralis adalah berdasarkan pemikiran bahwa kekerasan yang bertendensi agama berarti ada tuduhan bahwa agama yang menyebabkan adanya kerusuhan tersebut adalah agama yang tidak baik. Artinya, hanya agama tertentu yang baik. Sedangkan bagi para pluralis berlaku paham bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatanya sendiri. Sehingga, seorang pluralis tidak akan mudah mengatakan konflik disebabkan oleh agama, terutama jika pernyataan tersebut untuk menunjukkan bahwa agamanya adalah satu-satunya jalan keselamatan. Menurut Djohan Effendi, pilihan untuk tidak pluralis itu tidak keliru, sebab keberagamaan pada dasarnya adalah penerimaan tentang sesuatu yang diyakini sebagai kebenaran hakiki yang membaa manusia kepada keselamatan. (Djohan Effendi, ‘Pluralitas Keagamaan di Indonesia. Realitas dan Problematika” dalam Panitia Penerbitan Buku Kenangan Prof. Dr. Olah Herbert Schumann Balitbang PGI: 1999. Agama dalam Dialog. Pencerahan, Pendamaian dan Masa Depan. Jakarta BPK Gunung Mulia. 459).
[15] Bnd. B.R. WILSON -di bawah atasmosfir agama kristen- yang menyatakan bahwa “... antigereja merupakan manifestasi signifikan dari radikalisme politik” (Robertsond, 1988, 185)
[16] Ini merupakan kebalikan ‘tesis’ bahwa gerakan sosial disebabkan oleh gerakan keagamaan.
[17] Sekali lagi Bung Hot menuding bahwa agama menjadi salah satu biang keladi peristiwa tertentu akibat adanya percaturan politik.
[18] Bung Hot mengemukakan pendapat ini dengan mengutip DONALD EUGENE SMITH “Agama dan Modernisasi Politik”; Suatu Kajian Analitis. Jakarta: PT Rajawali, 1985.
[19] Untuk situasi ekstem yaitu di negara yang tidak homogen secara agama, terjadi masalah serius dalam hubungan agama dan politik sebagaimana dikemukakan oleh RR. ALFORD dalam “Agama dan Politik” (Robertsond, 1988, 379).
[20]J.B BANAWIRATMA: 1999.  “Panggilan Mengikuti Kristus di Tengah-tengah Kekerasan”. Makalah, dipresentasikan dalam Seminar Agama-Agama: Agama-Agama dan Rekonsiliasi, diselenggarakan oleh Balitbang PGI di PPSDM Yayasan Bina Darma, Salatiga, 17-20 September
[21]Ini selaras dengan pendapat JAMUIN, SIHAB dan DARMAPUTERA sebagaimana dikemukakan di depan, yakni agama pada dirinya sendiri baik adanya. Tetapi di sisi lain juga selaras dengan pemikiran Bung Hot bahwa agama merupakan salah satu di antara berbagai sumber sikap dan nilai yang penting, yang menunjang budaya politik. TANJA (1994, 3) juga menyangkal bahwa konflik secara esensial disebabkan oleh agama dengan mengatakan “Sejak semula bangsa Indonesia yang baru lahir itu telah berhasil mengenyampingkan perbedaan dan konflik agama dan bersatu padu dalam naungan negara kesatuan Republik Indonesia yang ber-Pancasila” juga “Dalam usaha mencari pengertian yang benar tentang kedua hal itu (pengertian kita tentang apa itu hidup manusia dan hubungan antar-sesama manusia, pen.), maka peranan agama sebagai landasan etika moral dan spiritual dalam memberi makna dan dorongan terhadap hidup sangatlah penting dan menentukan”.
[22] Bnd. TANJA (1994, 18-19) yang antara lain menyatakan bahwa “ ... peranan agama dan kepercayaan terutama sekali adalah sebagai sarana pemberian informasi untuk mengubah manusia supaya terbuka dan mampu untuk berkarya dalam menciptakan hidup yang lebih baik di masa depan, sehingga manusia betul-betul menjadi mitra kerja Allah dalam melakukan perbuatan-perbuatanNya yang ajaib dan besar secara terus menerus.”
[23] kata ‘satu-satunya’ ini pada masa gereja eksklusif dianggap oleh sebagian awam non-Kristen sebagai ‘bukti’ bahwa muatan ekslusif dalam agama Kristen jelas sekali ada. Kali ini Romo Bono memberika tafsir dan implikasi praksis yang benar. Jadi, bolehlah dibilang ada konsistensi antara ortodoksi dan otopraksis.
[24] JAMUIN menunjukkan tiga (atau empat) tingkatan sikap hidup beragama, ekslusif, inklusif dan pluralis (serta humanis) (1999. 18, 19, 24, 25, 39, 78). Bnd. ide membongkar eksklusivisme beragama dalam berbagai rujukan kepustakaan yang digunakan dalam seluruh tulisan ini. Sementara itu dalam berbagai tempat, DAVID J. BOSCH (1997) menunjukkan apa itu praktik hidup beragama yang pluralis, secara khusus ia menunjuk ke ‘jantung kekristenan’ yakni Yesus sendiri yang melakukan aktivitas misi yang inklusif.(41), penerimaan atas realitas kemajemukan kepercayaan (743), dll.
[25]Inilah gagasan kaum pluralis yang di idam-idamkan untuk dapat terwujud demi kedamaian bersama.
[26] Bosch .(1997,572).
[27] o.c 573
[28]Dalam Makalah Romo Bono hal ini juga dituliskan.
[29] Lebih jauh mengenai hakikat gereja lihat uraian  TANJA (1994. 17-18; 95-97; 151-153), Tom Jacobs, SJ, Dr. (ed), Gereja Menurut Perjanjian Baru, Yogyakarta, Kanisius, 1988. YBD, Rumpun Materi Pelatihan Spiritualitas Pelayanan, Salatiga, Yayasan Bina Darma, 1983.
[30] Periksa Bosch (1997), Singgih (1998) dan Ellis (1992)
[31] LEONARD GREENHALGH Menangani Konflik dalam Timpe. 1991. 391.
[32] DISTER (1994, 74-115)
[33] Meminjam istilah A. DAHLAN RANUWIHARDJO dalam “Perjuangan Islam dari masa ke masa dalam tiga periode di Indonesia”. Artikel dalam Bina Darma. 60/1998. 21.
[34] UKUR, FRIDOLIN: 1998. “Gereja Mencari Kontekstualisasi Konkret” dipresentasikan dalam Seminar Agama-Agama: Agama-Agama dalam Konflik: Mencari Format Kehadiran Agama-agama dalam Masyarakat Indonesia Kontemporer, diselenggarakan oleh Balitbang PGI di Wisma Sejahtera, Magelang, 13-18 September 1998.
[35]  DISTER (1994, 71-74)
[36] DISTER (1994, 78-79). Periksa juga GEERTZ yang mencoba memaknai agama sebagai melebihi sekadar ideologi hasil rekayasa sosial. Jadi, agama adalah entitas yang berlaku sebagai sistem kebudayaan (1992, 22-35). Juga O’DEA mengenai pendapatnya -sebenarnya menyitir TALCOT PARSON- bahwa agama adalah semacam faktor kausal yang menjadi penentu tindakan manusia. (1990. 21)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar